I'M COMING

757 78 12
                                    

~~***~~


"Aku datang, Aku datang memenuhi permintaanmu. Apa kau bahagia di sana? Seharusnya begitu, karena kau tak merasa sakit lagi saat ini. Biarlah rindu yang tetap mendekatkan kita yang berada pada dunia yang berbeda, Choi Jimin."
Lee Hana

"Kau sendirian?" Segelas jus Jeongguk sodorkan pada Hana yang duduk menyendiri.

Tadinya Jeongguk ingin menyapa ketika Hana sedang mengobrol bersama Eunseo, tiba-tiba ia berhenti karena merasa tak enak hati mengusik pembicaraan mereka, jadi ia memilih menyapa ketika Hana sendirian saja.

"Ah, iya, Paman." Hana mencoba mengukir sebuah senyum pada bingkai bibirnya.

"Choi Jimin kemana?" Lelaki Jeon ikut duduk pada tempat duduk yang semeja dengan Hana, meski tempat duduk itu dipisah jarak oleh meja yang melingkar.

Deg

Sumpah, Hana benar-benar tak tahu harus berkata apa. Dadanya sungguh terasa sesak luar biasa, seperti sesuatu menyumpal rongga parunya.

Ingin sekali ia menangis, sampai-sampai matanya sudah mulai berkaca-kaca.

"Selamat atas pernikahan kalian, ya. Waktu itu aku tak sedang di sini, sehingga tak bisa memberi selamat pada kalian secara langsung." Jeongguk mengulur tangannya untuk memberi ucapan selamat.

Ingin sekali rasanya Hana berteriak mengeluarkan emosi kesedihan dalam dirinya. Sungguh ia tak mampu menahan dan menyimpan segalanya sendirian saja.

"Kami sudah tidak bersama. Maaf Paman sepertinya aku harus menemui Heera dan segera pulang. Aku tidak bisa meninggalkan anakku dengan begitu lama." Hana beranjak mengelak percakapan pada Jeongguk.

Lelaki Jeon tak bisa berkata apa-apa. Merasa dirinya tak berdaya di hadapan Hana. Satu sisi yang pasti, ia tak mungkin menahan istri orang untuk mengobrol dengannya meski ia sangat ingin.

Manik hazel itu masih mengikut setiap gerak-gerik Hana hingga wanita itu sudah keluar dari tempat pesta, pun manik hazel itu masih mengikuti Hana saat Hana sudah di dalam mobil.

Seperti ada sesuatu yang wanita itu sembunyikan ketika Jeongguk sadar akan kata-kata jika Hana tak lagi bersama dengan Choi Jimin. Apa maksudnya? Tentu saja itu memancing penasaran Jeongguk untuk menggali informasi lebih banyak lagi.

Mobil dengan plat khusus keluarga Jeon membuntuti laju mobil dengan plat khusus keluarga Choi.

"Apa yang sebenarnya coba ia katakan? Ia mengatakan tak lagi bersama. Tapi, ia masih didalam mobil Choi Jimin dan melewati jalan yang akan membawanya menuju ke kediaman Jimin?" Lelaki Jeon pemilik manik hazel itu membuntuti Hana dengan sejuta pertanyaan dalam batinnya. Sengaja ia lakukan itu hanya untuk memastikan ucapan Hana.

Bahkan ketika mobil yang Hana kemudikan sendiri menghilang di balik gerbang kediaman Choi Jimi, lelaki Jeon masih memperhatikannya dari kejauhan.

"Apa yang kau pikirkan Jeon Jeongguk? Mungkin kau salah dengar. Tentu saja mereka masih bersama. Dia bahkan kembali ke tempat ini. Seharusnya kau bisa melupakan segalanya." Lelaki Jeon itu bicara pada diri sendiri, di dalam mobilnya yang terparkir tak jauh dari markas kebesaran keluarga Choi Jimin.

Ada rasa ingin singgah. Tetapi, Jeon Jeongguk takut dirinya dikira sengaja mengikuti Hana. Yah, walau kenyataan memang seperti itu.

***


"Aku harus bagaimana, Choi Jimin? Harus bagaimana? Aku tidak mampu melewati semuanya sendiri. Tetapi, aku tak mengerti harus bercerita pada siapa?" Hana menangis sejadi-jadinya. Bayi kecil menggemaskan terbangun dari tidur, kemudian ikut menangis, lagi-lagi seolah bayi itu mengerti kesedihan yang dirasakan oleh ibunya.

Menghapus jejak alir air matanya, kemudian membawa putranya ke dalam dekapan hangat.

"Sayang, kau rindu ayahmu, Nak? Ibu pun sama sepertimu, kita akan bertemu ayah secepatnya." Jemari Hana terulur lembut mengusap wajah mungil putranya itu. Seperti sebuah obat penenang, si mungil Jiseok langsung terdiam dalam pelukan.

Jelas sekali kerinduan itu membuncah, tumpah ruah tak tergambarkan lagi. Meski Hana baru mencoba mencintai lelaki  mafia itu, tapi ia mencobanya dengan tulus. Masa-masa akhir bersama lelaki Choi menjadi masa-masa penuh kenangan.

Bukan satu atau dua kenangan saja yang sudah ia lewati bersama Choi Jimin. Menakutkan, menegangkan, menyenangkan, menyedidihkan semua banyak yang mereka lewati bersama.

Begitu bayi mungil menggemaskan itu kembali tertidur, Hana mencoba meletakkan putranya ke atas ranjangnya. Bayi kecil itu terlihat tenang berada di atas tumpukan kain empuk yang membuatnya hangat.

"Apa pun akan ibu lakukan untukmu. Maka tumbuhlah menjadi anak yang baik." Kecupan kecil Hana daratkan di pipi mungil yang masih merah itu.

Sungguh Hana tak mengerti dengan apa yang harus ia rasakan. Ia harus senang atau sedih ketika melihat paras Choi Jimin terlihat dengan jelasnya di wajah Choi Jiseok kecil.

Hana mengambil ponsel yang ia letakkan di atas nakas pada sisi tempat tidur.

"Paman, bisakah kita pergi besok?" Hana berbicara pada Jaehyuk, orang yang telah menghabiskan banyak waktu mengabdi pada keluarga Choi.

"Baiklah, Paman akan mengurus semuanya malam ini, bagaimanapun itu, kita perlu menyelesaikan banyak prosedur untuk membawa Jiseok yang masih bayi."

"Terima kasih, Paman." Hana memutuskan sambungan telepon di antara mereka.

***


Sungguh Hana tak tahu is ingin menangis atau apa? Choi Jimin telah melakukan banyak hal untuknya dan juga anak mereka. Termasuk telah menyiapkan sebuah rumah lagi untuk Hana bisa tinggali. Padahal kalau dipikir-pikir, Choi jimin sudah meninggalkan setidaknya 4 rumah, termasuk markas dan rumah yang dibeli orangtuanya sebelum meninggal. Dan kali ini adalah rumah kelima. Hana hanya perlu memilih dan memutuskan untuk menempati rumah yang mana.

Sebuah makam pada puncak tebing yang bersinggungan langsung dengan lautan. Hamparan ilalang dan pampas liar yang sedang berbunga menjadikan tempat itu idah dan sangat menarik. Tak ada kesan mengerikan di sana, karena hanya ada satu makam baru yang mana Choi Jimin telah tenang di sana.

Seluruh tubuh Hana bergetar, matanya berembun kala melihat makam suaminya, Choi Jimin. Ingin rasanya ia menangis meraung-raung di atas pusara itu. Namun, ia mengingat pesan dari Choi Jimin yang mana lelaki itu akan menyambut kedatangan Hana dan keluarganya dengan senyuman. Itulah yang membuat Hana menahan dengan begitu susah payah agar tak menangis.

Hal yang tak bisa Hana mengerti adalah kenapa Choi Jimin lebih memilih tempat itu untuk peristirahatan terakhirnya. Kenapa ia tak meminta untuk disemayamkan di sisi orangtuanya saja? Setidaknya Hana bisa mengunjungi tiga orang sekaligus jika saja Jimin berada di sisi ayah dan ibunya.

"Aku datang, aku datang, Choi Jimin. Lihatlah aku datang bersama malaikat kecil kita. Apa kau bahagia?" Hana melirih, matanya menatap pada Choi Jiseok kecil, seolah-olah Choi Jimin akan ikut melihat pada sosok kecil dalam pelukannya. "Aku tak mengerti kenapa kau tak bisa terbuka padaku, aku bahkan tak tahu jika kau sakit. Kau benar-benar menahan rasa sakit itu sendiri."

Andai saja Hana bisa melihat sosok lain. Saat ini Hana ingin bisa melihat sosok Jimin sedang berdiri tepat dihadapannya. Tersenyum menyapa pada putranya. Dan terlihat ingin sekali memeluknya.

Bayi kecil Jiseok menggeliat. Apakah benar seorang bayi bisa melihat sosok lain? Jika begitu, artinya sosok kecil itu sedang menggeliat melihat ayahnya yang tersenyum bahagia menahan laju air mata.
[]

LOVE
AMEERA LIMZ

STILL LOVING YOU  [TAMAT - REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang