Dulu Jeno dan Jaemin hidup bersama, tinggal dibawah atap yang sama, satu kamar, bahkan satu ranjang. Sayang sekali kebersamaan itu terasa singkat, keduanya memutuskan hidup berpisah baik secara fisik maupun batin.
Rumah mewah minimalis dengan dua lantai terpaksa Jeno tinggalkan. Saat keluar pun dia hanya membawa satu koper berisi baju-bajunya. Sisanya dia tidak mengambil apapun. Walaupun dia yang membeli rumah tersebut beserta isinya. Jeno mengatakan pada Jaemin, semuanya milik putra mereka kelak.
Jadi, setiap weekend ketika menjemput dan mengantar pulang putra mereka. Jeno sedikit merasakan nostalgia. Dia ingat saat harus pontang-panting bekerja mati-matian demi meminang Jaemin. Seusai menikah dia bekerja lebih giat mengingat Jaemin tidak boleh menderita didalam pernikahan mereka.
Ketika dia tinggal memetik buah kerja kerasnya. Masalah pernikahan yang sudah dipuncaknya tidak bisa dihindari. Memang kelihatannya mereka hidup bagai keluarga kecil yang harmonis tetapi mungkin itu hanya topeng...
Terutama setahun terakhir sebelum perceraian...
"Terima kasih ayah telah membelikan Jisungie kapal" Jeno menengok ke arah kaca spion. Dia tersenyum melihat Jisungi yang duduk tenang di car seat sembari memeluk erat mainan yang barusan dia beli.
"Minggu depan pokoknya bakal seru" Komentar Jeno.
Jisung memamerkan senyum menggemaskannya.
"Ayah... Ayah adalah yang terbaik" Jisung memuji ayahnya.
"Tapi jangan bilang buna ya... Nanti buna cemburu Jisungie bilang gitu ke ayah" Tambahnya.
Jeno tertawa mendengar ocehan putranya.
* * *
Tap
"BUNAAAA!!!"
Jisung yang baru saja menyentuh tanah perkarangan rumahnya berteriak pada pemuda yang kini berdiri ditangga rumahnya.
Orang yang tidak lain Jaemin tersenyum melihat anaknya tampak sangat bahagia.
"Jagoan buna!"
Jisung berlari menuju bunanya meninggalkan Jeno yang berdiri menyaksikan keduanya. Dilihatnya Jaemin yang membungkuk untuk menyambut malaikat dalam hidup mereka dalam pelukannya.
"Wah anak buna wangi sekali" Pujian Jaemin terdengar.
"Iya dong, ayah mandiin Jisungie pakai sabun yang harum sekali" Jisung melepas pelukan sang buna, kemudian dia memamerkan mainan barunya.
"Ayah yang belikan?" Jaemin bertanya.
Jisung mengangguk antusias, Jaemin mendongak. Tatapannya bertemu pandang dengan mantan suami.
Jaemin tersenyum, Jeno pun juga ikut tersenyum.
Kembali berdiri, Jaemin menepuk kepala putranya.
"Masuk kedalam rumah dan cepat telepon Chenle. Dia marah, kamu gak ada ngabarin"
"Oke bos!" Tanpa babibu Jisung berlari masuk kedalam rumah. Dia lupa kalau ayahnya belum pamitan pulang kembali ke apartement.
Setelah memastikan putranya masuk, Jaemin berjalan menuruni anak tangga. Dirinya santai berjalan mendekati Jeno.
"Hai Jen" Sapanya.
Déjà vu...
Tujuh belas tahun yang lalu... Jaemin mendatanginya sambil menyapanya ramah seperti ini.
"Hai" Jeno membalas canggung.
"Mampir? Aku buatkan kopi kesukaanmu, kalau kau tidak keberatan"
Jeno tidak menjawab, dia hanya menatap Jaemin.
Jaeminnya, yang sejak tujuh belas tahun yang lalu tidak berubah sama sekali. Masih menawan dan mempesona...
Ya... Selama tujuh belas tahun Jeno mengenalnya Jaemin memang tidak berubah fisik dan sikap ramahnya, kecuali...
"Tidak perlu, aku harus segera kembali" Tolak Jeno.
Jaemin mengangguk-angguk paham.
"Ahh, terima kasih ya sudah mau jagain Jisung" Jaemin tersenyum manis.
"Dia juga kan anak aku bun..."
Sudut bibir Jaemin sedikit turun mendengar kalimat mantan suaminya. Bukan kalimatnya ang salah, tapi panggilan itu... Panggilan yang disandangnya selama delapan tahun.
Menyadari kesalahannya Jeno meminta maaf.
"Maaf Jaem, kebiasaan"
Kebiasaan delapan tahun tidak bisa begitu saja hilang.
"Ya... Santai aja... Ya sudah, hati-hati dijalan ya..."
Jeno mengangguk.
"Jangan lupa titip salam untuk Heejin ya Jen"
Secara fisik mungkin Jaemin tidak banyak berubah tetapi hatinya tidak demikian...