Balkon diseberang, di pandang sendu dari balik kaca jendela kamarnya. Hal yang mungkin paling sering Harsa lakukan hampir tiga hari terkurung di dalam kamarnya.Adikta ayah Harsa, benar-benar serius dengan ucapannya. Harsa benar-benar tidak lagi dapat menikmati kebebasan seperti sebelum-sebelumnya, tiga hari di mana dia hanya sanggup termangu menikmati keadaan kepalanya yang ramai, kemudian tengelam dalam kesepian.
Dia sakit, raga dan jiwanya juga.
Belum lagi, ia sungguh tak mengerti apa yang sebenarnya yang telah terjadi pada anaya, apa ayahnya melarangnya untuk tidak menjawab semua panggilan telepon darinya? Ratusan kali jika di hitung seberapa besar ia berupaya menghubungi Anaya, hanya sekedar untuk bercerita keluh kesahnya.
Agar setidaknya luka yang adanya dalam dirinya, yang tidak harus meninggalkan jejak lagi.
"Anaya, aku butuh kamu disini" lirih Harsa sembari memeluk kedua lututnya.
Bukankah itu lebih baik, saat ia sungguh ingin membenturkan kepalanya hingga pecah dinding.
Sebuah benda tipis nan tajam di genggam erat di tangannya, Benda itu bagai teman berbagi lara. Teman baiknya yang sering Mahen dan Anaya buang.
"Apa kau baik-baik saja Anaya?" Harsa memastikan keadaan Anaya apapun yang terjadi, dia akan berupaya menemukan celah dan segera menemui anaya.
Sebuah mobil yang sebelumnya tampak melaju dengan kecepatan rata-rata mendadak memelankan belokan.
Hanya keheningan pekat yang menaungi suasana mobil yang berada dalam kendali seorang supir pribadi dan sosok kurus yang duduk di kursi belakang.
"Tuan muda anda sepertinya sedang kurang sehat?" Suara sang supir memecah keheningan itu, sang supir melirik penuh kehawatiran pada kaca spion guna melihat keadaan sang tuan muda di kursi belakang.
"Tuan muda?"
"Aku baik paman," Harsa yang semula menyibukkan diri memandang deretan pohon disepanjang jalan, sedikit lebih lama menyahuti ucapan sang supir
Supir keluarga Aditama itu tetap tak ingin mengalihkan pandangannya dari sang tuan muda yang ada pada kaca spion. Sejak berangkat tadi, pria setengah baya itu sudah merasa janggal dengan keadaan tuan mudanya itu. " Jika tuan muda sakit, paman bisa meminta izin pada tuan Aditama agar tuan muda tidak usah sekolah dulu.
"Aku hanya kurang tidur paman," sahut Harsa adalah hal yang paling ia tunggu-tunggu, ketika sang ayah telah membiarkannya kembali berangkat ke sekolah, daripada harus mendekam di rumah itu.
"Tuan muda terlihat pucat"
"Aku hanya kurang terkena sinar matahari"kilahnya lagi.
Supir itu akhirnya hanya sanggup mengangguk pasrah, tuan mudanya yang malang, tidak mendapat apresiasi dari kedua orang tuanya, selalu di bandingkan dengan sang kakak Ardika tapi Harsa hanya memilih mendengarkan dan diam.
Sedangkan Harsa tak lagi dapat memahami apa yang dirasakan oleh tubuhnya. Luka tak lagi terasa perih, lebam tak lagi terasa nyeri. Angin malam tak lagi terasa dingin, ataupun kekecewaan serta kekesalan yang tak lagi menghujam hati.
Semuanya seakan terasa hambar dan redup.
Keteguhan untuk tetap semangat dalam hidup semakin hampa di rasa.
"Tuan muda harus menjaga kesehatan, angin musim hujan tidak baik untuk tubuh"
Orang-orang baik membuatnya sedikit bangkit selalu muncul tanpa di duga. Harsa mengulas senyum tipis, merasa bahwa setidaknya ada yang Sudi menghawatirkan kesehatannya.
"Terima kasih banyak paman"
Harsa tak menyesali apa yang telah menjadi keputusannya meskipun itu akan membuat situasi di kehidupannya kian buruk dan runyam.
Lagi, entah sudah berapa kali langkah kaki ini kembali di ayun panjang-panjang melewati trotoar jalan yang penuh dengan genangan air.
Harsa seakan berniat untuk pulang lagi, setelah tiba di depan pelataran sekolahnya. Tidak, ia memang melangkah sesuai dengan jalan yang akan membawanya menuju alamat rumahnya, namun ia kembali berbalik dan pergi ke tempat tujuan lain.
Rumah Yang selalu membuatnya nyaman dan tenang Anaya.
Membutuhkan waktu yang lumayan lama, karena jarak kompleks perumahan dan sekolah cukup jauh. Lelah? Tidak, bahkan Harsa sampai tak menyadari kondisi kakinya yang terasa lembab di dalam sana.
Sensasi perih pada kelingking kaki menggelitik tengkuk.Tok!
Tepat setelah berhasil tiba di depan gerbang pelataran rumah Anaya, Haikal mengetuk permukaan pagar tinggi dan hitam itu lekas.
Tok! Tok!
Ia mengetuk sampai belasan menit, namun tak ada sahutan suara apapun dari dalam. Rumah juga terlihat sepi.
Kemana Anaya dan keluarganya? Kenapa mereka tidak ada dirumahnya.
Apa mereka tak mendengar ketukan ku? Biasanya Anaya maupun keluarganya selalu tanggap jika ada yang mengetuk gerbang.
"Anaya"
Tok! Tok!
Harsa menekan ulu hati yang tiba-tiba terasa nyeri. Pandangannya mendadak memburam, jika seperti ini dia tidak mungkin terus berdiri di depan gerbang. "A-anaya".
Keringat dingin melesak dari setiap pori-pori tubuhnya, Harsa memilih menekuk diri, bersandar pada pilar pembatas gerbang sembari meresapi rasa sakit yang mendera seluruh tubuhnya.
Menjadi kuat itu sulit.
Dirinya bukan sekarang anak dengan kepribadian buruk dan kasar, hanya saja kedua orang tuanya sering meliriknya dengan sebelah mata.
Ukhuk!
Nafasnya memberat saat rasa pusing telah mendominasi sampai membuatnya tak bisa membuka mata.
Harsa pingsan.
TBC
Hai hai👋 maap ya baru update masih sibuk-sibuknya kegiatan sekolah jadi mohon di maklumi, gimana puasanya lancar? Alhamdulillah kalo lancar dan selamat membaca semuanya mohon untuk tinggalkan komen dan vote ya 🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
BUNGA TERAKHIR [SELESAI]✅
FanfictionHATI-HATI TYPO BERTEBARAN‼️ Tolong biarkan dia merasakan kebahagiaan walau hanya sesaat, Tolong, sekali saja dengarkanlah rintihannya. •Bunga Terakhir "Dia sedang terluka, kenapa semesta tidak mengizinkannya untu...