“Gue ganggu?” Qisti melongokkan kepalanya ke dalam mana tahu ada tamu, kan enggak enak.
“Nggak, masuk yuk,” ajak Helen. “Tumben, biasanya kalau mau datang lo telepon.”
“Dari rumah kakak gue, sekalian mampir.” Nyatanya dia keluar siang dari rumah Cyra sedangkan sekarang sudah jam lima sore.
Paling enak main ke rumah Helen karena orang tua temannya itu tidak tinggal dengannya, tapi dia memiliki seorang kakak tiri yang tinggal di apartemen berstatus janda dan sering membawa temannya ke rumah.
“Gue belum sempat jenguk, pasti ganteng ya.”
“Pasti dong, entar anak gue juga ganteng kaya Aris.”
“Pacaran bertahun-tahun, kalau kata orang nih ya ibarat KPR udah lunas,” sindir Helen. Nyindir Qisti, gue apa kabar? Hadeuuh.
“Minggu depan gue dilamar.”
“Serius? Jangan ngadi-ngadi deh.”
“Entar gue kabarin tanggalnya, Cuma lo doang, yang lain gue undang pas resepsinya.”
Sold out begitu kata orang kan? Ah, enggak sabar bentar lagi mau belah duren.
“Syukurlah kalau gitu,” Helen ikut bahagia. “Berarti mama lo udah yakin dan percaya?”
Qisti mengangguk mantap, kisah mba Cyra dijadikan pelajaran jadi dia sudah mengenalkan Aris jauh-jauh hari dan mendapat respons positif dari mamanya.
“Pacaran sudah cukup lama, kirain sampai tua mau gitu terus.”
“Enggak gampang, setiap mau ngomong selalu kebentur mba Cyra. Gue mesti cari waktu yang tepat, Alhamdulillah begitu masalah pengantin baru kelar, gue langsung maju.”
Helen tahu hubungan Cyra dan Abhie dari Qisti, awalnya sempat pesimis tapi ketika temannya itu memberitahu mereka sudah menikah ia jadi takjub, padahal isi cerita Qisty sama sekali tidak lengkap tapi bisa membuatnya baper.
“Semoga lancar sampai hari H.” Helen merentangkan tangan ingin memeluk temannya. “Gue senang dengarnya, cepat nular ke gue Tuhan.”
Qisti mengaminkan dalam hati doa sahabatnya. Walaupun Helen sama ceria sepertinya hari-hari gadis itu kesepian, apalagi ketika pulang kerja. Tidak bermaksud membandingkan tapi Qisti bersyukur karena memiliki keluarga yang hangat dan orang tua lengkap.
“Karena gue udah di sini, kita bikin makan malam yuk.”
“Boleh,” jawab Helen antusias. “Kali ini nggak bakalan nonton gue masak kan?”
“Nggak lah, gue ngajak lo masak. Paham kan?”
Kedua sahabat itu bergegas ke dapur. “Oke, mari kita cari apa yang bisa kita masak.”
Helen mulai mengeluarkan bahan makanan yang akan diolah untuk makan malam, ia senang karena Qisti sering datang ke rumah sedangkan teman yang lain tampak sungkan mereka Cuma berkunjung saat ada keperluan tapi ia belum berhasil membuat Qisti menginap di rumahnya karena tahu orangtua temannya itu tidak akan mengizinkan.
“Ngomong-ngomong belum ada kejelasan dari dia?”
Sejenak Helen terdiam, dia yang dimaksud Qisti adalah kekasihnya yang sampai sekarang belum ada memberinya kepastian setelah berjanji menceraikan istrinya.
“Sekalipun ada mungkin nyokap gue nggak bakal setuju.”
Qisti juga tidak, dia pernah menyarankan tapi Helen tetap mempertahankan hubungan dengan pria tak bertanggung jawab itu.
“Tapi gue masih berharap.”
Tidak seperti hubungan biasa, Qisti juga tidak ingin suudzon. Menurut cerita Helen hubungan mereka sudah seperti suami-istri dan Qisti tidak bertanya maksudnya, mungkin begitulah kalau pacaran dengan pria dewasa yang sudah beristri.
Dia juga sangat mencintai Aris tapi mereka bisa menahan gejolak minimal tidak berada ditempat sepi berduaan. Selama ini tidak ada yang berlebihan padahal hubungan sudah dalam hitungan tahun.
“Solusinya ada di kalian, gue enggak tahu mau bilang apa.” Karena sudah cukup Qisti menasehati dengan cara apapun tidak mempan entah kalau hubungan Helen dan pria itu diketahui istri sah.
“Dari dia mungkin, gue menerima Andrew apa adanya.”
“Maaf sudah bertanya tentangnya, mood lo pasti kacau.”
Memang selalu seperti itu tapi tidak tahan kalau tidak bertanya, mereka tidak bertemu setiap hari kadang Helen yang sering mampir ke kantornya sekadar makan siang tapi karena tempat umum Qisti tidak pernah bertanya soal laki-laki itu.
“Enggak apa-apa.”
Salah satu hal yang disukai Helen dari Qisti adalah pengertian, mungkin semua persoalan hidupnya sudah diceritakan pada temannya itu.
“Siapa?” tanya Helen melihat Qisti ingin menjawab telepon.
“Nyokap.”
“Masih di rumah mba-mu?”
“Enggak, kenapa Ma?” paling lama dua jam di rumah kakaknya itu juga sekali tok, lain selalu terpaksa pulang pernah disuruh pulang padahal baru aja ngetuk.
“Nomornya enggak bisa dihubungi, ada yang mau Mama tanyakan.”
“Mana aktif, orang suaminya sudah pulang makanya aku langsung pamit.” Qisti tidak mengatakan pengusiran halus sang kakak.
“Oh, kamu di mana? Sudah mau Maghrib.”
“Rumah Helen, mau makan dulu nanti balik.”
“Jangan kemalaman, salam buat Helen.”
“Baik.” Setelah mematikan sambungan Qisti lanjut memotong Seledri.
“Nanti kalau nikah mau tinggal sama mama juga?”
“Awalnya harus, tapi nanti juga pindah.”
“Perhatian banget, salut gue sama orang tua yang enggak egois.”
“Hush, semua orang tua baik.” Kecewanya Helen telah disampaikan. “Hanya saja cara mereka mungkin yang keliru.”
“Papa dengan keras kepalanya, ditambah mama yang enggak pernah bersyukur.”
“Helen,” tegur Qisti.
Helen menarik napas dalam dan mengembuskan dengan kasar. “Dengan masalah gue sendiri sudah cukup sebenarnya.”
“Ada saatnya lo bahagia, orang tua sudah memilih jalan mereka, biarkan saja.”
Qisti pernah bertemu mama Helen, tidak dengan papanya walaupun pernah bertemu, mama sahabatnya tidak pernah menyapanya.
“Karena itu gue salut sama nyokap lo, gue suka betah kalau main ke rumah lo karena di sini gue sendiri.”
Sepertinya tidak akan selesai acara masak ini, Qisti mematikan kompor dan mendekat pada sahabatnya.
“Udah jangan nangis lagi, lo udah dewasa sekarang. Belajar dari kesalahan orang tua, gue juga mau lo sama bahagianya kaya gue.”
Mungkin sekarang Helen pesimis tapi akan ada saatnya mata dan hatinya terbuka melihat dunia dari sisi lain, jika tiba waktu itu dia tahu apa yang dibutuhkan oleh hatinya.
“Gue sempat berpikir Aris sama sepertinya, tapi anggapan itu terbantahkan. Mungkin aku yang bodoh.”
Orang tua dan orang yang dicintainya, mereka sudah mengecewakan Helen.
“Ada sesuatu yang bisa di makan?”
Suara itu berat khas orang dewasa, ketika mengangkat wajah Qisti melihat pahatan indah dari yang maha sempurna.
“Ganteng banget,” gumam Qisti dan di dengar jelas oleh Helen. “Perasaan lo nggak ada kakak cowok,” kata Qisti lagi. Lalu siapa pria itu?
“Ingat Aris, Qis!”
“Pasti, gue setia.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjerat Pesona Duda (Cerita Lengkap Di PDF)
RomanceTampan, matang dan berkharisma kriteria laki-laki yang disukai Qisti, putri kedua Mikhayla dan Bhagawanta