5

1.9K 387 20
                                    

  "Harusnya gue tampil cantik hari ini," keluh Helen. "Dengan gaun mewah terus tamunya pada mandang gue semua." bayangan mengharukan.

"Gue kali masa lo!"

"Yang diincar tamu bukan lo lagi pastinya, dayang-dayang lo gitu."

Qisti tertawa. "Iya ya, tapi tetap yang cantik hari itu cuma gue."

"Ish yang nghalu nggak jadi nikah pun!" semprot Helen. 

Qisti tersenyum getir, batal nikah menjelang beberapa saat lagi menuju pertemuan keluarga dengan laki-laki yang telah dipacari bertahun-tahun.

"Lo juga kecewa karena dia punya bini, sekarang gue. Karena mantannya. Circle-nya memang harus gitu ya." kenapa rata-rata lelaki labil dalam bersikap ketika dihadapkan pada sosok wanita, terlebih punya kenangan di masa lalu.

"Lo yang beruntung." Helen mengakuinya. "Syukur lo tahu lebih dulu, enggak kebayang gue kalo lo sampai lepas segel."

"Amit-amit." itulah kenapa Qisti tidak buru-buru memperkenalkan Aris pada keluarganya padahal saat itu sudah melewati dua tahun masa pacaran. Bukan tidak yakin, gadis itu hanya ingin lebih tahu mendalam tentang mantan kekasihnya itu.

"Nyesal enggak jadi nikah?" 

Qisti menggeleng. "Cuma kecewa, gue udah percaya banget tapi harus ngelewatin semua ini." mungkin bagi orang lain cukup dengan cinta tidak bagi Qisti.

"Terus sekarang gimana?"

"Ya enggak gimana-gimana, dulu tanpa dia gue bisa hidup."

"Bukan itu, kerjaan lo yang gue maksud." karena Helen tahu Qisti tidak mau bergabung dengan perusahaan keluarga.

"Oh, lo mau punya sahabat pengangguran?"

"Kenapa enggak nanya nyokap lo?"

Qisti tertawa. "Mampus lah gue, sekolah tinggi-tinggi tapi enggak gue manfatin ilmunya."

Kebijakan dari Mikhayla ingin anak-anaknya bekerja setelah menikah terserah apa kata suami. Selagi ada waktu luang tidak boleh disia-siakan, begitu hasil dikatakan oleh mama Qisti.

"Udah ada bayangan mau kerja di mana?"

Qisti menggeleng. "Gue mau nganggur dulu satu bulan, nggak apa-apa kan kalau gue sering datang?"

"Sesuka lo." 

"Sayang Helen banyak-banyak." Qisti memeluk temannya.

"Ekhm!"

Mereka segera meleraikan pelukan dan serempak melihat ke arah suara. Mata itu lagi, tapi kini dengan sorot tajam, bukan hanya tertuju padanya tapi juga Helen.

"Siapa?"

Ah, dua kali melihatku beliau enggak pernah nanya gitu? Qisti tidak percaya.

"Qisti Pa, temanku."

Qisti ingin tersenyum, tapi tanya dari bibir pria itu terlontar dengan cepat.

"Kenapa berpelukan?"

Qisti menatap sahabatnya, lantas berbisik. "Disangka bokap lo kita ehem-ehem."

"Qisti baru putus, kami lagi curhat."

Oh No, wajah Qisti seketika memerah mendengar jawaban Helen. Dengan cepat Qisti menggeleng, ayolah Qis beliau bokap Helen, kenapa mesti malu?

Tatapan pria itu masih tajam, teman tapi berpelukan terlebih di rumah tidak ada orang bisakah dipercaya?

"Maaf." Om atau Papa? Lantas Qisti kembali berbisik di telinga sahabatnya. "Gue manggilnya om atau papa?"

Dilihat dari sikap Qisti ada yang mencurigakan, pria itu tidak ingin menuduh tapi benarkah gadis itu menyukai putrinya?

Tanpa basa-basi lagi ia meninggalkan dua gadis itu, nanti saja menasehati putrinya.

"Lo yakin bukan anak pungut?"

"Gila, bokap gue itu Qisti!"

"Papa sambung mungkin." Qisti tidak percaya, usianya dengan Qisti tidak beda jauh minimal papa Helen seumuran dengan papanya kan?

"Kenapa sih lo?"

"Tampan banget, kaya papa muda gitu."

"Terus lo naksir?"

"Apa?" gue naksir? Qisti menggeleng. "Gue cuma bilang bokap lo ganteng, masih muda juga."

Tatapan Helen sinis. "Tahu kan awal cinta datang dari mana?"

Qisti tertawa, renyah banget di pendengaran Helen terkesan dipaksakan. "Enggak mungkin lah, bokap lo berarti bokap gue juga dong." 

Iya sudah benar seperti itu, enggak usah mikir yang macam-macam. "Kan gue nanya tadi manggilnya om atau papa?"

Gila, Qisti pasti sudah gila. 

"Kalau lagi patah hati itu dirawat dulu, jangan langsung ngegas. Ntar kalau udah siap kita cari buaya baru."

Benar, rawat hati dulu. Senangin diri dulu cukup menghabiskan waktu karena laki-laki yang setiap malam senyum-senyum baca pesan darinya rela begadang demi teleponan sudah cukup masa itu.

"Enggak, kali ini kalau ada gue mau yang dewasa aja lebih terbuka, sederhana dan pastinya tampan juga menerima gue apa adanya."

Helen mengangguk setuju, kekasih hatinya juga dewasa hanya saja kurang tegas dan plin-plan terlalu menakutkan untuk dikenalkan pada orangtuanya.

"Sekarang mau sendiri dulu, bareng kamu kalau lagi ada waktu."

"Betul, gue juga lagi praktek saran dari lo." 

Qisti terkejut. "Udah berapa lama?"

"Satu Minggu."

"Terus dia enggak nyariin lo?" tanya Qisti lagi, ini menjadi kabar gembira baginya.

"Enggak tahu, gue udah enggak pernah ke apart. Kalau ke rumah dia nggak bakalan berani karena terakhir bertemu gue ngasih tahu ada bokap di rumah."

"Mau sampai kapan?"

"Yakinkan aja gue, sampai gue tahu berarti enggak gue dihidupnya."

Qisti mengangguk, dia pasti akan selalu mendukung  "Lo cukup berarti, laki-laki macam dia mana tahu. Tetap bertahan, nangis aja setiap malam entar juga lo bosan nangisin orang seperti dia."

"Gue sayang banget sama lo, jangan sampai ada kejadian macam-macam." Qisti kembali memeluk temannya ketika melihat kelopak mata Helen basah.

Jadi benar gadis itu punya rasa pada putrinya? Sepertinya dia harus tegas pada Helen, zaman sekarang ada saja hubungan aneh.

"Boleh kita bicara?" pria itu tidak sabar lagi, sekali boleh salah paham tapi ini kedua kalinya.

Qisti menunjuk dirinya. "Saya?"

Papa Helen mengangguk sedang Helen sama bingungnya dengan Qisti, kenapa papa ingin bicara dengan temannya?

"Helen ikut ya?"

"Tidak, Papa ingin bicara dengan temanmu. Berdua," tegas papanya.

Ketika papa berbalik Qisti menatap temannya. "Gue mau diapain Len, tanyain bokap lo kenapa beliau cuma ngajak gue?"

Helen menggeleng, ia juga tidak tahu. "Bokap gue bukan orang jahat, masuk aja gue enggak jauh-jauh dari lo."

Qisti memejamkan mata, detak jantungnya tidak seirama. "Gue takut, apa gue cabut aja?"

"Kenapa masih di situ?"

Suara berat dan memiliki ciri khas tersendiri kembali terdengar. 

"Helen, bantu gue."

"Maaf, tidak bisa kali ini." Helen juga khawatir.

Sedang di mata papa keduanya seperti sepasang kekasih yang enggan dipisahkan, jujur dia muak melihatnya.

Terjerat Pesona Duda (Cerita Lengkap Di PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang