Malam di Utopia jauh lebih indah dibanding Elyxir. Irina menikmati silir angin dari balkon lantai tiga manor di sana. Bintang-bintang berkedip di langit malam. Bulan sabit menintip malu-malu dari balik awan. Sejauh mata memandang, yang Irina lihat adalah daratan yang disinari pohon bercahaya. Utopia begitu luas. Netra Irina tak menangkap ujung dari pulau itu. Meskipun Irina yakin, bahwa ada segaris yang memisahkan pulau dengan cakrawala.
Perempuan itu merapatkan selembar kain sutra yang ia balutkan ke tubuhnya. Rambut keperakan melambai di bawa angin, begitu pula gaun tidur sepanjang mata kaki Irina. Matanya mengerjap manakala cahaya dari pohon-pohon di bawah sana mengedip. Bintang-bintang tak lagi terlihat dan bulan sepenuhnya menyembunyikan diri di balik awan yang bergumul. Sedetik kemudian, hujan memeluk daratan Utopia.
Cahaya, hujan, dan salju. Irina adalah salju. Salju tersembunyi yang baru turun setelah enam ratus tahun. Haruskah ia menerima fakta yang dapat merenggut kebebasannya? Sebagai keturunan Elf Bulan, Irina tentu saja menyadari bahwa di pundaknya ada tanggung jawab yang begitu besar. Ia harus melepaskan kebebasannya, ia harus melepaskan kehidupan lamanya, ia harus melepaskan Sean, dan ia harus melepaskan pedangnya. Barangkali setelah ini, Irina akan menjalani kehidupan membosankan seperti wanita pada umumnya. Mengatur pesta, mengurus kerajaan, dan duduk di singgasana mewah dengan pelayan yang akan mengikatkan tali sepatu miliknya.
Irina menggeleng pelan. Kepalanya kubangan kumuh. Bukan ini kehidupan yang ia inginkan. Ia tidak ingin menjadi pasangan dari seorang Raja yang terikat dengan berbagai etiket dan seribu lapis topeng senyuman yang perlu ia perlihatkan kepada khalayak. Irina tidak ingin menjadi wanita pajangan yang berjalan di samping Raja dengan tidak berdaya. Ia menginginkan kebebasan. Namun, barangkali segalanya telah terlambat. Elkrana pernah mengatakan padanya berkali-kali, bahwa di masa depan, apa pun yang terjadi jangan sampai mengkhianati takdirnya. Mungkin, Elkrana tahu bahwa hari ini akan datang dan Irina tak dapat menghindarinya.
Tapi ... barangkali tidak.
Irina mungkin tidak dapat menghindari, sebab segalanya telah terjadi. Namun, ia dapat membuat segalanya berjalan seperti yang ia inginkan. Irina tidak bisa hanya duduk diam dan menerima perubahan nasib. Ia adalah pembunuh bayaran dan ahli pedang nomor satu di Elyxir. Irina tak akan melupakan tujuannya. Ia harus menyusun siasat untuk dapat membebaskan Sean serta terlepas dari Siagren dan perjanjian bodoh itu.
Irina merapatkan kain sutra yang membalut tubuhnya. Bibir merahnya terangkat membentuk garis senyuman licik.
***
Irina dan Siagren makan malam dengan khidmat. Seperti yang pria itu katakan, tak ada seorang pun selain mereka di Utopia, bahkan pelayan sekali pun. Makanan yang tersaji di atas meja muncul begitu saja tatkala Siagren menjentikkan jarinya, begitu pula piring kotor bekas makanan mereka yang hilang secara ajaib.
Mereka telah selesai makan. Kandil lilin di atas meja panjang itu berkedip. Seakan tak cukup dengan cahaya lampu di atas sana, Siagren menginginkan lilin beraroma untuk menemani makan malam mereka.
"Pernikahan akan dilakukan satu minggu setelah malam titik balik matahari. Semua orang sedang menyiapkan ritual untuk saat ini. Aku ingin seluruh rakyatku datang ke istana untuk merayakan pernikahan kita," Siagren mengusap kedua sudut bibirnya dengan sapu tangan. Tato keemasan di tengkuknya berkilat terkena paparan cahaya.
Irina memandang pria itu tajam, "apa maksudmu? Bukankah pernikahan terlalu berlebihan, Siagren?" Perempuan itu menahan untuk tidak berkata menggunakan nada yang lebih tinggi dari yang baru saja ia utarakan.
Pria itu memandang Irina yang duduk di sisi kanannya. Raut mukanya terlihat terusik dengan konfrontasi yang baru saja ia dapatkan. "Jadi maksudmu dengan perjanjian darah yang telah kita lakukan, kita tidak akan menikah, Irina? Lalu bagaimana kau akan menghadapi rakyatku dan para petinggi kerajaan jika dirimu tidak memiliki status, hm?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Queen of Sword (Tamat)
FantasíaIrina Eärwen adalah pembunuh bayaran dan ahli pedang yang berjiwa bebas. Hari-harinya diisi dengan berlatih bersama Sean, teman sehidup sematinya di Gelanggang. Suatu malam, sosok yang tak disebutkan namanya membayar mereka untuk menghabisi pria be...