1. Our First-Past Story

12 3 0
                                    

Malam itu, dengan lagu Cinta dari Krisdayanti yang dinyanyikan salah satu band lokal Majera Karyasa masuk ke dalam cafe, dia selalu menjadi pusat perhatian seperti biasanya.

Jujur saja, Jera cukup mager malam ini. Kalau saja Rendi-teman SMA sekaligus sahabat lamanya- tidak DM BB account-nya dan ping gak jelas, Jera tentu tidak akan datang.

Jera menarik kursi asal, duduk di sebelah seorang gadis yang iya tahu sering diolok Jimmy karena katanya dia masih suka nonton serial kartun  The Advantures Of Jimmy Neutron sebelum berangkat sekolah. Jera tahu Namanya Farah, sempat menggegerkan sekolah karenya dia lolos SPMB-sekarang SNMPTN- padalah nilainya biasa-biasa saja, dia juga tidak poputer.

“Eh Jer, apa kabar lo? Rambut lo sekarang udah gondrong aja, kek genderwo.” Begitu sapa salah seorang teman, Farah juga menoleh ke arahnya.

“Iya nih No, masa lagi negrasa keren-kerennya kalo gondrong.” Balas Jera, Keano tentu paham maksud Jera; ada masanya dimana laki-laki akan merasa keren dengan rambut gondrong, merasa ganteng dan maco, padahal realitanya mah semakin butek. Tapi sebenarnya niat awal Jera berambut gondrong bukan itu, ini hanya karena formalitas pekerjaan saja, dia freelance selagi susun skripsi, dia harus disibukkan agar menjadi produktif. Begitulah, Jera itu totalitas sekali.

“Masih belum punya gandengan Jer?” tanya Keano, Jera tahu itu hanya basa-basi saja.

“Yoi, gak sepopuler pas SMA gue.” Canda Jera, tentu saja dia berbohong. Jera hanya sangat malas dengan hubungan tidak serius itu, dari dulu.

“Elo gimana Far?” Pertanyaan Keano beralih ke Farah, wanita itu menoleh.

As far as you see, gue single.” Jawab Farah santai, ia juga sama seperti Jera: memilih tidak berpacaran. Tapi alasan Farah cukup klise dan toxic; Farah masih jatuh cinta pada crush jaman SMAnya. Farah masih main hp, mungkin sedang baca berita Line Today atau apa, dia tampak tidak memperhatikan lawan bicaranya tanpa peduli bahwa orang akan berpikir dirinya bad attitude.

Ini pertama kalinya Jera memperhatikan Farah—atau mungkin seorang gadis, dan kesan pertamanya adalah; gadis itu menarik.

“Nah, pas banget gak sih! Lo berdua kan sama-sama jomblo dari orok nih, kenapa gak jalan aja?” Usulan itu diajukan Nandya, cewek ter-ribut seangkatan Jera. Jera pernah kena maki wanita itu, tapi entah karena apa; Jera terlalu abai untuk mengingatnya.

Jera melirik ke arah Farah, melihat mimic wajah gadis itu. Ekspresinya tidak berubah, masih santai dan biasa saja. Dia berhasil, Jera tidak bisa menebaknya.

“Boleh dicoba, malem ini lo anterin gue pulang ya, Jer?”

Farah membuka suara, suara itu membungkam mulut Jera. Jera si good talking itu hilang begitu saja. “Tuhkan apa gue bilang Jer, reuni itu mendatangkan rezeki.”

Jera masuk perangkap, dia tidak bisa berkata apa-apa karena ini tentang harga diri orang lain. Bukankah Farah akan sangat malu jika Jera menolak mengantarnya? Baiklah, hanya mengantar, tidak lebih.

***

Acara berlangsung cepat, Jera menepati anggukannya untuk mengantar Farah pulang. Tapi tidak sesingkat itu ternyata, cerita mereka tidak sesingkat itu. Di mobil dengan cahaya redup malam itu, percakapan antara keduanya seharusnya tidak terjadi.

“Lo kerja part-time ya? Gue liat lo ngisi di cafe semalam.” Pertanyaan itu dibalas anggukan oleh Jera, dia memang nyanyi di cafe semalam, tapi bukan itu kerjaannya. Pekerjaan Jera lebih complicated dari hanya sekedar nyanyi di cafe.

“Ya gitu deh, nunggu pengumuman wisuda.” Jawab Jera seadanya.

Farah mengangguk paham. “Elo gimana? Udah siding skripsi?” tanya Jera, hanya menebak-nebak saja. Teman seangkatannya juga rata-rata sedang susun skripsi atau sidang, jadi Farah tidak jauh dari dua kemungkinan itu, kan?

“Belum, baru kemarin ini acc.”

Keduanya diam cukup lama, sampai akhirnya Jera terdengar menghela napas dan buka suara, “Gue gak pacaran karena emang gak tertarik, kalo itu yang pengen lo tanyain.” Ucap Jera gemas, ia perlu 15 menit untuk bisa membaca pikiran Farah.

Gerak-gerik gadis itu cukup aneh, dia seperti ingin bertanya, tapi tidak mengutarakannya. Canggung sekali.

Farah pura-pura tertawa, “seinget gue lo anak HI sih, bukan psikolog. Anw, gue gak segampang itu ditebak.” Sargas Farah.

Dan Jera menyetujuinya, jika tebakannya melesat, maka dia memang tidak bisa menebak Farah.

Sampai saat ini.

“Iya deh, iya. Abisnya lo diem-diem mulu.”

Dan percakapan mereka setelah itu mengalir begitu saja. Percakapan tak berdosa yang tak seharusnya didengar di awal cerita.

Saya Bercerita
5-1-22

OUR PAST-Old-DAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang