Chapter 25

401 63 23
                                    

"One, two, three, up"

"One, two, three, down and left"

"One, two, three, up"

Kedua tangan dan kakinya bergerak lincah mengikuti ritme musik yang keluar dari headphone putih di kepala.

Saat ini langit sangat cerah ditambah lagi setelah pengamatannya sejak tiga hari lalu, hampir tidak ada orang yang datang kemari padahal atap ini selain memiliki pemandangan yang indah, ukurannya yang luas juga menampung banyak ornamen serta furnitur layaknya sebuah patio yang menjangkau sampai ke sudut atap.

"Lihat saja, aku tidak akan kalah dari anak kesayanganmu itu. Aku akan... membuktikan... pada dunia bahwa... aku adalah... penyanyi yang... hebat. Wah, ini sangat melelahkan"

Nafas yang sesak serta tenggorokan yang kering, memaksanya menghentikan latihan mandiri tersebut. Ia beristirahat ke bawah pohon berpagar kecil yang sebenarnya diberi tanda agar tidak diduduki, namun dirinya malah bersikap masa bodoh sebab ia tau tidak seorang pun akan menangkap basahnya disini.

"Setelah ini apa yang harus kulakukan ya? Aku tidak mau beristirahat lama dari kegiatan grub. Aku punya penggemar dan mereka pasti menungguku tanpa tau jika aku sedang dirawat disini"

Muncul perasaan jengkel yang ditanggapinya dengan santai sembari berbaring menatap langit.

"Sebenarnya kenapa juga aku harus terkilir waktu latihan? Benar jika kemarin-kemarin aku mentertawakan sunbaenim yang mengalami hal serupa, tapi secepat itukah aku mendapat balasan? Bukankah tidak adil? Sunbaenim hanya dirawat tiga hari sedangkan aku seminggu"

Kakinya menekuk saat menumpu kaki satunya lagi dikala dua tangannya menjadi bantalan di bawah kepala.

"Tidak di dalam grub, tidak di kehidupan nyata, kesenjangan antar aku dan orang-orang sangat nyata. Aku akui kadang aku sangat iri dan ingin tau bagaimana rasanya dilahirkan dalam keluarga kaya raya, minimal setengah kaya saja sudah cukup. Pastinya aku tidak akan perlu menahan diri karena masalah keuangan untuk melakukan apapun yang kusuka"

"... Sayang di dunia ini tidak ada satupun impian yang gratis. Semua memerlukan uang agar dapat diwujudkan. Aku tidak pernah mendapat latihan khusus dari pelatih privat seperti mereka, dipilih untuk bisa debut tahun lalu saja aku sudah sangat bersyukur"

Gumpalan awan di atas sana mengingatkannya dengan permen kapas yang pernah dibelinya secara diam-diam saat masih menjadi trainee. Deskriminasi yang diterimanya sedari lama tidak bisa dibandingkan dengan keadaannya sesudah debut, selain bertambah, segala hal juga jadi lebih intens.

"Some people do exist without ever having to worry about money, huh? That statement drowns me most of the time. It sounds cruel, but it's the truth"

"LEPASKAN AKU!"

"Ha? Siapa yang barusan berteriak... Oh! A-apa itu penculikan?"

"Apa maumu sebenarnya?! Kubilang lepaskan aku!"

Bruk!

"Akh! Sakit!" Seohyun mengusap pantatnya yang baru saja menghantam lantai. "Pergi sana! Jangan ganggu aku lagi!"

"Menurutmu itu lucu?" Tanya pria bermata merah yang mengambil sebuah batu bata.

"A-apa yang lucu?"

Seohyun panik dan mencoba berdiri sambil berpegangan pada sebuah pot bunga namun gagal. Tubuhnya jatuh lagi ke lantai sedangkan pria itu makin dekat dan tidak memberinya pilihan selain beringsut perlahan untuk membuat jarak ke belakang.

"A-aku tidak mengenalmu jadi tolong segera pergi. Aku akan melupakan kejadian ini dan—"

"TUTUP MULUTMU!"

CATWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang