Cahaya Menyilaukan

28 3 2
                                    

Cahaya Menyilaukan

Gelap. Sangat gelap di sini.

Aku tidak bisa melihat apapun selain cahaya yang semakin menjauh dariku. Sebuah cahaya yang aku sendiri bahkan tidak tahu apa itu. Namun, di kondisi yang gelap seperti ini cahaya itu seolah menjadi sebuah tuntunan.

Setiap kali aku berusaha untuk menggapainya, aku hanya terus berlari di tempat. Tidak, aku bahkan tidak bisa bergerak lebih tepatnya.

Ketika cahaya itu cukup jauh untuk bisa kulihat lagi, cahaya tersebut akhirnya kembali dan mendekat perlahan. Perlahan dan kemudian menjadi sangat cepat. Cahaya kecil tadi menjadi besar dan melaju dengan kecepatan yang sangat kencang.

Cahaya tersebut kemudian berubah menjadi sebuah kendaraan raksasa tepat di hadapan wajahku. Dan aku dilindas olehnya layaknya semut di tengah jalan.

"WAAHH!!"

Aku seketika terbangun karena kaget dengan penuh keringat di sekujur tubuhku. Udara dari AC sangat dingin, namun aku berkeringat ketakutan. Aku mencoba untuk bangun untuk mengecek badanku. Tapi hampir seluruh tubuhku diperban dan tidak bisa kugerakkan. Layaknya mumi di atas ranjang rumah sakit, aku hanya di sana berbaring melihat langit-langit ruangan ini.

Ayahku yang tertidur lelap di sofa sebelah ranjangku terbangun mendengar teriakanku yang cukup keras tadi. Dia nampak terkejut dan melihat sekitar untuk mencari sumber suara dari teriakkanku tadi. Kemudian dia melihat ke arahku yang tengah terbangun dan raut wajahnya berubah menjadi lebih terkejut dari sebelumnya. Dia lalu mendekatiku dan bertanya.

"N-Nak, kau sudah siuman?"

Tangannya menggenggam tanganku yang lemas. Genggaman tangannya sangat lemah dan behati-hati karena takut bisa mencideraiku yang berbaring lemah ini.

Aku tidak begitu mendengar ucapannya, kepalaku masih pusing untuk memproses sekelilingku. Namun, dengan melihat gerakan bibirnya aku dapat memahami apa yang ia katakan.

Aku membalas genggaman tangan ayahku lalu tersenyum untuk memberitahunya jika aku tak apa. Ayahku lalu membantuku untuk duduk sambil menyerahkan segelas air untuk menenangkanku.

Sinar bulan menyinari ruangan eksklusif rumah sakit ini. Meski dengan segala peralatan medis yang modern terpasang di ruangan ini, masih ada tempat yang cukup lenggang. Luasnya ruanganku membuat sinar bulan seolah seperti cahaya lampu taman biasa.

Tak ada suara yang terdengar olehku atau mungkin memang indra pendengaranku masih sedikit terganggu. Hening nan senyap layaknya ruangan gelap dengan sepercik cahaya redup. Namun, kali ini kurasakan cahaya yang lebih besar dan hangat, dia adalah ayahku.

Ayahku adalah seorang pengajar di sebuah perguruan tinggi sains di pinggiran kota Tokyo. Tubuhnya yang telah berumur itu terlihat lunglai tak berenergi. Wajahnya yang keriput seolah menunjukkan betapa beratnya beban pikiran yang ia pikul selama ini.

Tanganku yang ia genggam dapat merasakan betapa kasar kulitnya. Serta matanya yang berkantung tebal yang seolah belum tidur selama beberapa hari. Mungkin dia sudah lama menunggu di sampingku sejak aku masuk ke rumah sakit ini.

Tapi, memang kenapa aku bisa di rumah sakit ini sejak awal?

Aku akan tanyakan itu kepada ayahku setelah aku sendiri bisa menyadari keberadaanku.

Kepalaku menjadi semakin berat dengan segala pertanyaan yang menumpuk, jadi aku meminta ayahku untuk membaringkan tubuhku yang dipenuhi perban ini.

"Apa kau butuh sesuatu lagi?"

Ayahku menawariku bantuan setelah aku menghabiskan segelas air tadi.

Aku menggelengkan kepalaku dan memberinya senyuman. Gelengan kepalaku untuk berkata 'tidak' dan senyumanku untuk berkata 'terima kasih'.

A Future Where We Are ApartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang