Rencana Yang Matang
Mimpi itu sangatlah dalam bagiku. Aku membuka mataku dengan air tangis di pinggir kelopak mata. Meski begitu, itu merupakan tidur paling nyenyak yang kumiliki 1 bulan terakhir ini.
Surat perjanjian yang dibuat Emi sekarang telah musnah. Aku tidak menemukannya di dalam kotak kaleng yang kutemukan kemarin. Itu adalah benda yang paling kuharapkan bisa mengembalikkan ingatan Emi agar dia bisa mengenaliku lagi sebagai 'Takkun'.
Itu merupakan alasan aku memulai segala proyek mengenai kembali ke masa lalu. Tujuannya hanya simpel, yaitu untuk mengambil kertas perjanjian itu dan mengembalikkan Emi yang ceria dulu.
Sinar matahari menerangi seluruh kamarku menandakan waktu sudah pagi. Aku ingin segera bergegas melakukan apa yang harus kulakukan.
Mimpi malam ini membuka seluruh kegelapan dari ingatanku. Semua kekosongan itu sekarang terisi dengan jelas. Aku sudah ingat semua perjalanan dari kecil hingga membuat mesin waktu itu.
Aku menuruni tangga untuk ke lantai bawah dan segera berpamitan dengan ibuku.
"Selamat pagi, Nak."
Ibuku menyapaku sambil memasak sarapan pagi untuk kami berdua.
"Selamat pagi, Bu."
Perutku tidak terasa lapar dan keinginanku untuk segera pergi sangat kuat, jadi aku memutuskan untuk melewatkan sarapan pagi ini.
"Ibu tak perlu repot memasakkan untukku. Aku ada keperluan, jadi aku ingin segera pergi mengejar kereta pagi."
Ibuku jarang marah untuk hal yang sepele. Dia sungguh berbaik hati untuk selalu bertanya alasan dibalik setiap tindakan. Namun kali ini berbeda. Dia hanya terdiam dan memperlihatkan senyuman sedih.
"Kau tak ingin sarapan dulu, Nak? Perjalananmu sangat jauh, setidaknya isi perutmu sedikit saja dulu."
Perjalanan dari rumah orang tuaku ke rumahku tidaklah jauh. Hanya 2 jam setengah menggunakan kereta. Tapi ada benarnya perkataan ibuku. Setelah aku sampai di rumah, aku tidak akan punya waktu untuk memasak atau bahkan memakan sesuatu.
"Baiklah."
Ibuku tersenyum dan melanjutkan masak. Aku mendekat ke meja makan untuk duduk memposisikan diri. Tak lama setelah itu, ibuku menata makanannya di atas meja.
"Selamat makan."
Aku sudah berkelana ke berbagai belahan dunia dan merasakan makanan dari segala penjuru. Banyak yang lebih enak dari masakan ibuku.
"Bagaimana masakan ibu? Enak, kan?"
Ibu bertanya ketika aku sudah mencicipi semua masakannya.
"Sup misonya terlalu asin dan ikannya sedikit kurang matang."
"Kau selalu saja perfeksionis, berbohonglah sedikit."
"Kalau begitu, makanan ibu sangat enak."
Ibuku diam dengan wajah jengkel ketika aku melakukan persis apa yang dia suruh.
"Lupakan, jujur lebih baik."
Meski begitu, jika aku disuruh memilih aku akan tetap memakan masakan ibuku. Bukan karena rasanya, namun suasana yang dibawa sangatlah berbeda. Setiap gigitannya membuatku mengingat masa kecilku, karena rasanya selalu sama sejak dulu.
Sesuatu muncul dari benakku yang membuatku bertanya-tanya. Kotak besi itu harusnya sudah hilang saat pembangunan belasan tahun lalu. Namun kenapa benda itu ada di gudang rumah.
"Ngomong-ngomong, bagaimana bisa kotak besi itu ada di rumah, Bu?"
"Kotak besi?"
Sepertinya ibuku tidak terlalu mengingat benda yang telah lama hilang itu. Jujur saja, aku juga beberapa kali hampir melupakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Future Where We Are Apart
Aktuelle LiteraturTaki adalah seorang ilmuwan di zaman modern. Malam itu ia terbangun di sebuah rumah sakit. Dia mengalami amnesia. Dia tidak ingat akan kecelakaan yang ia alami. Dia bahkan tidak ingat istrinya yang meninggal dalam kecelakaan tersebut. Suatu hari dia...