Rangkaian Cerita Lama
Perlahan aku mulai sadar dari kegelapan yang menyelimutiku ini. Namun mataku masih terjebak dalam kesadaran yang fana. Aku mencoba mengulurkan tanganku untuk meraih sesuatu agar aku bisa merasakan gerak tubuhku.
Sesuatu yang tidak kuketahui kurasakan dalam genggamanku. Sesuatu yang padat namun empuk. Aku terus mencoba mencari tahu dengan cara meremasnya.
"Sakit."
Suara itu tidak teriak dan tidak memiliki intonasi marah, tapi cubitan yang ia lakukan padaku dapat menjelaskan jika dia sedang marah padaku. Aku masih belum yakin, jadi aku terus meremasnya.
Dan sebuah tamparan melayang ke wajahku. Aku langsung terbangun dan membuka mataku.
Aku terbaring di pangkuan seorang gadis. Gadis berambut pendek berwarna coklat gelap. Ia memandangku dengan tatapan yang datar, namun alisnya menajam seakan sedang marah padaku.
"Taki, aku tidak masalah kau meremasnya, tapi jangan terlalu keras."
Tanpa kusadari tanganku masih meremas dadanya. Dadanya terasa sangat enak digenggam dan ukurannya pas dengan telapak tanganku.
APA YANG SEDANG KULAKUKAN!
"Wah! Maafkan aku!"
Aku segera melepaskan tanganku dari dadanya.
Aku segera menjauh dari pangkuannya dan sujud untuk meminta maaf karena telah menyakitinya, sekalian untuk berterima kasih sudah mengizinkanku meremasnya.
"Kau boleh melakukannya kapan pun."
Aku mengangkat wajahku dan melihat wajahnya yang masih tetap datar meski mengatakan hal yang senonoh seperti itu.
"Wah! Kau gila, ya?!"
Aku terkejut karena dia terima dengan pelecehanku tadi. Bahkan raut wajahnya tidak berubah sama sekali. Aku tidak tahu apa dia mengatakan itu dengan serius atau bercanda.
Tunggu dulu, apa yang terjadi di sini?
Aku tidur di pangkuan seorang gadis yang tidak aku kenal di sebuah taman di siang hari yang cerah. Sinar matahari yang tembus dari pohon membuat suasana cerah dan tenang. Tapi ini seharusnya tidak terjadi karena aku baru saja tenggelam di dalam danau.
"A-Apa ini surga?"
Aku melihat ke arah tanganku untuk melihat apakah ini nyata atau tidak. Aku mengatakan itu kepada diriku sendiri, namun gadis itu malah menjawabku.
"Hm? Tidak, ini taman."
Aku melihat ke arahnya karena kupikir dia bercanda atau semacamnya.
"Maksudku, apa aku sudah mati?"
Raut muka datar gadis itu mulai menekuk karena bingung. Dia memiringkan kepalanya dan bertanya.
"Taki? Kau baik-baik saja?"
"Ah, maaf. Sepertinya aku butuh waktu untuk istirahat."
Aku memegang kepalaku dan mengusapnya agar pusing yang kualami sedikit lebih ringan.
"Kalau begitu, tidurlah di pangkuanku lagi."
"Aku tidak bisa melakukannya, aku bahkan tidak mengenalmu."
Kali ini raut mukanya menjadi cemberut dan alisnya menajam.
"Apa maksudmu, Taki? Aku marah nih!"
Dia bahkan mengatakannya dengan datar tanpa intonasi. Mulutnya cemberut membuat pipinya bulat dan memerah.
Wajahnya meski tidak terlalu cantik, namun dia memberikan aura yang membuat orang ingin memeluk dan melindunginya.
Aku merasa seperti pernah melihat wajahnya di suatu tempat. Di sebuah foto lebih tepatnya, foto yang terdapat di rumahku. Foto dimana aku dan dia berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Future Where We Are Apart
General FictionTaki adalah seorang ilmuwan di zaman modern. Malam itu ia terbangun di sebuah rumah sakit. Dia mengalami amnesia. Dia tidak ingat akan kecelakaan yang ia alami. Dia bahkan tidak ingat istrinya yang meninggal dalam kecelakaan tersebut. Suatu hari dia...