Sekarang Atau Tidak Sama Sekali

5 0 0
                                    

Sekarang Atau Tidak Sama Sekali

Aku kembali ke rumah dengan tujuan yang telah terpenuhi. Sekarang aku tahu kenangan mana yang ingin kutuju dan ingin kurubah.

Seandainya aku tidak bertemu atau menyelamatkan Emi di malam itu, kemungkinan aku dan Emi akan jalan terpisah. Jadi Emi tidak akan mati dalam kecelakaan hari itu.

Dengan napas yang dalam kuhembuskan perlahan untuk menenangkan diriku. Aku mencoba meyakinkan tekadku dengan mantap. Karena malam ini aku akan menggunakan mesin waktu itu.

Aku sampai di rumah dengan mambawa makan malam yang kubeli di mini market. Aku sudah bilang ke Yumi untuk tidak datang ke rumahku malam ini karena aku takut dia akan mengganggu rencanaku.

Aku mengunci semua pintu di rumahku lalu pergi menuju ruang bawah tanah itu dan membaca kembali dokumen-dokumen tentang mesin itu lagi. Aku ingin memastikan jika aku menjalankan mesin ini dengan prosedur yang semestinya.

Salah satu dokumen mengatakan jika pengguna harus fokus selama loading mesin dan memikirkan kenangan yang ingin dituju. Loading mesin memakan waktu kurang lebih 10 detik. Dalam durasi itu pengguna harus benar-benar memikirkan satu kenangan yang jelas. Jika gagal, kemungkinan lain masih belum diketahui hasilnya. Entah mesin itu akan berhenti bekerja, atau pengguna akan terlempar ke masa yang tidak pernah ada.

Semua itu dilakukan dengan duduk di kursi mesin dengan menggunakan helmnya. Tombol start terletak di sandaran tangan sebelah kanan dan baru bisa ditekan ketika proses loading ingatan telah selesai.

Semua hipotesa gagal itu membuatku takut. Rasa ragu menyerangku, namun aku terus mengingat wajah Emi dan semua akan kembali jelas olehku.

Aku membuat sehelai surat untuk kutinggalkan jikalau proses mesin waktunya berhasil dan aku pergi ke masa lalu. Di surat itu aku hanya mengatakan terima kasih kepada Kaitou dan Yumi serta orang tuaku. Karena tanpa mereka semua, aku mungkin juga mati di kecelakaan itu bersama Emi.

Aku segera menyalakan alatnya dan mengaktifkannya sesuai yang tertulis di dokumen. Aku memastikan jika semua alatnya menyala sempurna. Aku tahu jika kemungkinan aku akan mati dalam percobaan ini, namun setidaknya aku mati dengan cara yang kuinginkan. Mencoba mesin

yang kurakit beberapa tahun lalu serta berusaha menyelamatkan kekasihku.

Aku duduk di kursi alat tersebut dan mengenakan helm ingatannya. Aku menarik napas dan menghembuskannya perlahan berkali-kali, lalu aku membulatkan tekadku untuk menekan tombol loading tersebut.

*Klik*

Aku fokus memikirkan kenangan tersebut secara keseluruhan maupun secara detail. Setiap sudut dari gang itu, langit malam itu, cahaya dari lampu jalan, hingga raut wajah Emi. Aku harus mengingat semuanya dengan benar.

Hingga akhirnya suatu pertanyaan muncul, "kenapa aku berjalan lewat gang itu?". Seketika bayanganku buyar karena aku tidak tahu kejadian sebelum aku jalan ke gang tersebut. Fokusku hilang dan gambaran tadi menjadi acak.

Keringatku di kening mulai keluar dan aku mengusapnya. Tak sengaja aku membayangkan gerakan tanganku sedang mengusap keringat di keningku tersebut. Aku berusaha tenang dan kembali membayangkan kejadian malam itu.

*Ding!*

Fokusku terpecah ketika notifikasi bahwa proses loading telah selesai itu berbunyi. Hanya tinggal satu langkah untuk proses menembus ruang waktu.

Keringatku mulai mengucur deras dari dahiku seakan aku baru saja berlari maraton. Aku takut.

Apakah kenangan yang kurang jelas seperti tadi cukup untuk mengantarkanku ke kenangan yang kumaksud?

Apakah aku akan selamat dan menuju ke kenangan yang ingin kutuju? Bagaimana jika semuanya gagal dan aku terlempar ke masa yang tak pernah ada?

Aku memukul diriku sendiri berulang-ulang agar tersadar dari keraguan. Untuk sekali ini saja, aku ingin memberanikan diriku untuk bertindak. Aku harus mengambil keputusan dan melangkah lebih jauh. Aku meyakinkan diriku jika semuanya akan baik-baik saja.

"Haha. Aku membenci diriku."

Setelah menertawakan diriku yang menyedihkan ini, aku menutup mataku dan segera menekan tombol start.

*Klik...*

Cahaya disekitarku menjadi redup lalu gelap gulita. Aku berada di dalam ruangan tanpa cahaya sama sekali. Hawa panas perlahan menghampar diriku.

Rasa takut tadi kembali menyerangku. Aku tidak bisa membayangkan sebuah ruangan gelap dengan temperatur hangat. Besar kemungkinan aku terlempar ke ingatan lain atau bahkan ke ruang yang tak pernah ada.

Aku tidak tahu apakah prosesnya telah usai atau belum. Aku tidak merasakan banyak perubahan lagi, jadi kuberanikan diriku untuk membuka mata.

Aku masih berada di ruang bawah tanahku.

Mesin waktunya mati dan listrik di ruang bawah tanahku mati total. Lampu dan pendingan ruangan tidak menyala akibat lonjakan listrik yang berat.

Proses gagal total.

"KENAPA?!"

Aku melepas helmnya dan membantingnya ke lantai.

"BERENGSEK!"

Aku marah karena mesin ini hanya sebuah rongsokan. Ini proyek yang gagal dan sampah. Sekarang aku tahu kenapa aku yang dulu tidak pernah mengurusnya lagi.

"SIAL!"

Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Semua rasa takutku yang tadi lenyap digantikan rasa amarah yang tak terbendung.

Sekali lagi, tujuan hidupku sirna di depan mata. Aku sudah tidak punya lagi alasan untuk membuka mata esok hari.

Aku membaca semua dokumen mesin waktu itu sekali lagi untuk memastikan bagian mana yang gagal. Tapi aku tidak bisa menemukannya meski aku telah membaca semuanya berulang-ulang kali.

Aku menyerah dan putus asa. Aku menangis di atas kebodohanku. Aku lupa jika dunia ini berengsek. Dunia akan selalu berusaha menggagalkan rencana yang telah matang kau buat. Itu kenapa kau harus selalu punya rencana cadangan.

Tapi untuk kali ini, aku tidak punya rencana kedua. Aku tidak berpikir jika ini akan gagal. Meskipun rencana dan prosesnya gagal, yang aku tahu setidaknya aku akan mati dalam percobaan.

Tapi tidak, aku tidak mati dalam percobaan.

"Lalu kenapa aku tidak mati saja sekarang? Haha."

Aku tertawa gila dan memukul kepalaku dengan helm yang kubanting tadi. Kulakukan berkali-kali hingga akhirnya aku melukai kepalaku. Darah segar mengalir dari dahi ke leher dan menetes ke lantai.

Bekas luka bibir kemarin kembali robek. Aku merasa jika satu-satunya yang bisa menenangkan amarahku adalah rasa sakit. Itu lebih baik dibanding emosi yang terpendam.

Pantulan cahaya dari helm menunjukkan wajahku yang penuh luka. Ini bukan lagi diriku yang kukenal.

"Apa yang sedang kulakukan...?"

Aku merasa bodoh. Aku merasa hampa. Aku takut.

Aku berhenti menyakiti diriku dan naik ke lantai atas untuk meneguk sekaleng bir. Kemudian dua kaleng bir, tiga kaleng bir, dan belasan kaleng bir selanjutnya.

Aku merebahkan diriku di atas sofa dengan menonton acara TV malam hingga mabuk dan tertidur.

Aku sudah tidak lagi peduli.

A Future Where We Are ApartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang