Secercah Ingatan Yang Ditemukan
Setelah setidaknya aku menghabiskan waktu dua jam mencari tanpa hasil, aku mulai menyerah. Bagaimana mungkin aku dan istriku tidak memiliki album foto, atau mungkin aku dan istriku adalah orang yang pemalu dan tidak suka foto? Tapi seharusnya album pernikahan kami ada sebagai bukti jika kami pernah menikah.
Aku terhenti sejenak dan mulai mempertanyakan semuanya sejak awal.
"Apakah aku benar-benar pernah menikah?"
Aku duduk di lantai memandang langit-langit rumahku dan mempertanyakannya.
Ketika hidup tanpa memiliki ingatan untuk bisa diyakini, akan sulit mempercayai mana yang benar dan yang salah. Bukan berarti aku ragu, hanya saja semua terasa aneh. Maksudku bagaimana bisa aku tidak merasakan apa-apa ketika aku melihat foto istriku?
Semua keraguan itu membuatku juga mempertanyakan kenapa juga aku mencari tahu tentang seseorang yang telah tiada. Jika memang dia adalah cinta dan pasangan hidupku selamanya, seharusnya aku bisa merasakannya. Sekecil cahaya dalam hatiku pun masih bisa menjadi bukti cintaku padanya, tapi sayangnya itu tidak ada.
Hanya tertinggal perasaan penyesalan bersalah karena telah membuatnya pergi dari muka bumi ini. Namun sungguh, perasaan itu sangat menggangguku sejak aku siuman waktu itu.
"Hoam..."
Tubuhku lelah dan kepalaku mulai terasa pusing karena mabuk semalam. Ditambah dengan posisi tidur yang salah membuat tubuhku kurang enak sejak bangun tadi pagi. Rasa kantuk yang berat mulai membebani pandanganku.
Perlahan mataku mulai turun karena tidur semalam kurang cukup. Dan perlahan pula aku jatuh dalam mimpi.
Kelompak mataku seolah terbuka oleh hembusan angin. Aku sedang duduk di atas dahan sebuah pohon. Aku dapat memandang hampir seluruh kota dari atas dahan pohon ini.
Aku tidak terlalu yakin, tapi aku bisa memastikan jika aku sedang di dalam mimpi. Karena perban di tubuhku tidak ada dan aku tidak perlu memakai kruk.
Meski begitu, aku bisa dengan sadar menggerakkan tubuhku dalam mimpi layaknya memang aku sedang hidup dalam mimpi ini.
"Jadi, kau sudah menemukan bunganya?"
Aku kaget karena ternyata ada seorang gadis di sebelahku selama ini. Aku juga tidak paham apa yang dia bicarakan.
"Um, bunga?"
"Iya, bunga. kau bilang kau ingin memberikannya padaku."
"Kau yakin tidak salah orang?"
Dia diam sejenak melihatku. Tak lama setelah itu, dia melempar pandangannya ke depan, memandang luasnya langit.
"Ya, mungkin kau benar. Aku mungkin salah orang."
Aku melihat wajahnya yang kecewa dari samping. Tapi aku pun tidak bisa berbuat apa-apa karena aku sendiri tidak kenal dengannya.
Tapi entah kenapa, aku merasa bersalah. Jadi aku mencoba mengajaknya bicara.
"Bunga yang kau maksud, bunga apa memang?"
Dia membuang napas panjang sebelum akhirnya menjawabku.
"Bunga Wasurenagusa. Orang-orang menyebutnya sebagai bunga 'Jangan-Lupakan-Aku'."
Dia menghadapkan pandangannya ke arahku kali ini. Lalu tersenyum kecut.
"Pria itu berjanji akan memberikannya padaku, jadi aku ingin menagihnya. Tapi sepertinya itu sudah tidak ada gunanya lagi."
Aku harap aku bukan pria yang gadis ini maksud, karena aku tidak ingat membuat janji tersebut. Aku pula tidak tahu menahu akan bunga yang dia maksud, aku bahkan tidak tahu tentang gadis ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Future Where We Are Apart
General FictionTaki adalah seorang ilmuwan di zaman modern. Malam itu ia terbangun di sebuah rumah sakit. Dia mengalami amnesia. Dia tidak ingat akan kecelakaan yang ia alami. Dia bahkan tidak ingat istrinya yang meninggal dalam kecelakaan tersebut. Suatu hari dia...