Kosong Tanpa Arti

4 0 0
                                    

Kosong Tanpa Arti

Entah sudah berapa hari terlewat, tak lagi berarti bagiku. Yumi dan Kaitou beberapa kali datang berkunjung dan berusaha untuk membuatku ceria. Tapi itu semua percuma.

Yang mereka berikan padaku hanya kebahagiaan palsu. Kenyataan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dirubah. Takdir pun sama, tak mudah untuk dirancang seenaknya.

Semua di dunia ini terdengar seperti omong kosong bagiku. Satu-satunya yang kumiliki sekarang hanya sakit kepala, sakit kepala, dan sakit kepala.

Hari-hariku hanya kuhabiskan untuk menonton acara TV yang bahkan tidak kuperhatikan. Kaleng-kaleng bir berserakan di lantai bahkan di atas sofa dimana aku berbaring. Serta kotak obat sakit kepala yang kukonsumsi tanpa resep dokter bergeletakan di atas meja ruang tengah.

Siang dan malam adalah satu-satunya penanda waktu karena jam dinding tak lagi kupedulikan. Setiap detik jarum membuatku gila. Seolah waktu menuntunku untuk berjalan menjauhi tempat tujuanku tanpa bisa memutar balik.

Dimensi waktu hanyalah jalan satu arah, aku tahu itu. Lalu kenapa aku membuat alat mesin waktu bodoh itu dan berusaha untuk kembali.

Kaleng bir yang kubawa dari dapur sudah habis dan tenggorokkanku mulai kering. Aku berdiri dan berjalan menendangi kaleng-kaleng bir yang berserakan karena mengganggu jalanku.

*Bzz! Bzz!*

Telepon genggamku bergetar ketika aku melewatinya di sebelah sofa. Berbagai suara bergema di ruangan ini, entah itu suara TV, AC, mobil di jalan raya, apapun itu aku tidak peduli. Termasuk suara dari telepon genggamku ini.

Aku mengacuhkan panggilan telepon tersebut dan meneruskan langkahku menuju dapur. Aku berusaha membawa sebanyak-banyaknya bir yang bisa kubawa agar aku tidak perlu kembali lagi.

Beberapa bir jatuh dari peganganku ketika aku berjalan menuju ruang tengah. Aku terlalu malas untuk mengambilnya jadi kubiarkan saja.

Aku kembali duduk dan menonton televisi hingga malam tak terasa terlewat. Entah jam berapa aku terlelap, tapi hanya mimpi buruk yang mendatangiku.

Tidak hanya pikiranku, tapi juga mentalku yang tidak stabil kali ini. Aku terkadang melihat bayangan diriku yang berdarah di pojok ruangan. Aku tidak bisa melakukan apapun selain menutup mataku dengan tangan.

Namun ketika mataku terpejam, bayangan tentang kecelakaan itu kembali terulang. Aku hanya akan kembali terbangun setelahnya.

Entah sudah berapa hari sejak aku terakhir kali bisa istirahat dengan nyenyak. Kantong mataku sudah menghitam layaknya bengkak bekas tonjokan.

Aku hanya memandang layar televisi dan sekaleng bir di tanganku. Gorden tertutup dan lampu padam, hanya televisi satu-satunya sumber cahaya di ruangan ini.

"...hubungi nomor berikut atau datang ke klinik pengobatan kami. Kami akan dengan senang membantu anda...."

Iklan layanan masyarakat ini sering muncul di televisi akhir-akhir ini. Membuatku muak.

"...hargai nyawa anda dan selalu ingat orang tercinta yang akan ditinggalkan jika anda pergi."

Aku tidak paham apa untungnya bagi mereka jika orang memilih untuk 'pergi', kenapa pula mereka peduli. Maksudku, mereka bahkan tidak kenal dengan orang-orang yang akan bunuh diri itu. Lagipula orang-orang tersebut tidak memiliki sosok yang dicintai sejak awal, itu kenapa mereka memilih untuk 'pergi' seorang diri.

"Orang tercinta, kah?" Apa aku masih punya."

Sudah tidak ada lagi tujuanku hidup. Meskipun aku masih hidup, apa yang akan kulakukan kedepannya. Aku sudah lupa tentang pekerjaanku.

A Future Where We Are ApartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang