Merubah Segalanya

11 0 0
                                    

Merubah Segalanya

Aku terbang dan terpisah dari tubuhku yang sedang duduk. Tanpa bisa kukendalikan aku tertarik terbang dalam lorong waktu dengan sangat cepat hingga aku tidak bisa melihat apapun.

Tubuhku terpental bergelantungan tak terarah. Kepalaku menjadi pusing karena melaju begitu cepat dan berputar-putar terlempar tanpa arah.

"AAAAAHH!!"

Aku berteriak kencang akibat tubuhku terlempar. Mata kupejamkan karena pandanganku membuatku mual. Hal terakhir yang kulihat merupakan sebuah lorong yang memantulkan bayangan layaknya cermin. Namun bayangan yang dipantulkan tidak sekedar bayangan, namun kenangan-kenangan masa laluku.

Aku merasa terhentakkan keras setelah jatuh ke salah satu cermin dalam lorong tersebut. Aku masih takut untuk membuka mata atas apa yang baru saja terjadi.

Tiba-tiba suara seorang bocah terdengar olehku.

"Oh, kau berani melawanku?"

Suaranya terdengar dekat dariku seolah dia sedang berbicara denganku. Akhirnya kuberanikan diriku untuk membuka mata.

Aku sedang duduk di tanah dan memeluk bola pemberian ayahku dulu. Kepalaku kuangkat untuk melihat sekitarku.

Aku berhasil pergi ke masa laluku.

"Woaahh!"

Rasa senangku meledak ketika mengetahui jika mesin waktuku bekerja sesuai harapan.

Aku melihat seluruh tubuhku untuk mengecek apakah ada kecacatan tubuh atau semacamnya. Badanku kembali seperti masa kecil dulu.

Aku berlonjak-lonjak kegirangan tanpa kusadari.

"Banzai!"

Aku tertawa senang dan meletakkan bolaku untuk melakukan 'Banzai'.

"Hei, kau sudah gila ya?"

Saking senangnya, aku bahkan lupa jika aku sedang diajak bicara dengan bocah itu.

Bocah berwajah garang mencoba untuk mengintimidasiku. Berani-beraninya anak songong mengintimidasi orang dewasa.

"Heh, bocah. Sok sekali kau!"

Aku membalas mengoloknya dengan sok kuat. Aku masih memiliki kesadaran orang dewasa karena baru beberapa menit lalu aku menjadi anak kecil.

Tampaknya dia tidak senang mendengar itu. Dia mendorongku jatuh hingga tersungkur di tanah. Tubuhku lecet-lecet dan dipenuhi dengan pasir di pakaianku.

Rasa takut tiba-tiba menyerangku. Air mataku mengalir dan menetes ke pakaianku yang sudah kotor terkena pasir. Aku secara reflek berusaha untuk kabur, namun otot kakiku terasa lemas.

Satu hal yang kusadari barusan. Tidak hanya aku kembali bertubuh seperti anak kecil, namun aku menjadi anak kecil itu sendiri. Bahkan kesadaranku yang dewasa tadi serasa tertutupi oleh kesadaranku di umur ini.

"Oh oh, kemana keberanianmu tadi, HAH?!"

Bocah itu menendang kakiku yang tersungkur. Situasi seperti apa sekarang ini aku pun tidak tahu.

"K-kenapa kau menyakitiku? Memang aku melakukan kesalahan padamu?"

Sambil menahan nagis, kuusahakan agar suaraku masih terdengar jelas.

"Kenapa, kau bilang? Kau berusaha keras mengambil bola itu dariku."

Itu tidak masuk akal, aku masih ingat sekali jika itu adalah bola pemberian ayahku untuk ulang tahunku yang ke 5.

"T-Tapi itu adalah bolaku."

"Bukan lagi, karena itu sudah jatuh di wilayahku. Sekarang pergi!"

Teman dari bocah tadi mengambil bolaku. Aku tidak terima dan berusaha merebutnya kembali.

A Future Where We Are ApartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang