🍁Semi Final🍁

1K 145 276
                                    

HALO SEMUANYAA🌈

APA KABAR NIH? INSYAALLAH BAIK-BAIK AJA KAN YA?

OKEY LANGSUNG AJA CUS BACA..🥰

JUJUR, INI ADALAH PART YANG AKU SEBENERNYA NGGAK TEGA BANGET BUAT PUBLISH😌

Pertandingan semi final pun dimulai, masing-masing tim berusaha mengeluarkan performa terbaik mereka.

Kini bola berada pada tangan Ansel, dengan cekatan ia mendribble bola sampai mendekat ke ring lawan. Namun saat ia akan melakukan shooting, tiba-tiba ada seseorang yang melompat di hadapannya hingga sikunya membentur wajah Ansel.

Dug!

Ansel tersentak hingga bola yang ia bawa terlepas dari tangannya.

Tes! Tes!

Beberapa supporter  SMA Cempaka histeris saat hidung Ansel mengeluarkan darah akibat benturan yang keras. "Main kasar banget sih Lo!" pekik Vanda.

Ansel kini menunduk, kepalanya tiba-tiba pening akibat darah yang cukup banyak keluar. Hingga akhirnya ia terjatuh di tengah lapangan dengan hidung yang terus mengalirkan darah. Pertandingan dihentikan sementara oleh wasit, "keluar pertandingan!" titah wasit dan dengan santainya laki-laki itu melangkahkan kaki keluar dari lapangan. "Ansel bukan tujuan gue," bisiknya pada Arfan yang kini berjalan ke tengah lapangan bersama tenaga medis.

"Urusan lo sama gue, jangan bawa siapapun!" balas Arfan dengan tatapan tajam.

Audrey yang awalnya berada di bangku supporter, kini berlari mendekat ke abangnya yang dibawa oleh tenaga medis.

Keadaan semakin memanas, ditambah lagi dengan jumlah pemain yang sama-sama kurang "Kita harus bisa walaupun hanya dengan empat pemain," ucap Gio yang mendapat anggukan dari Vanda, Bian, dan Faris.

Sedangkan di sisi lapangan, Arfan sedang menimang keputusannya. Setelah berpikir secara matang, Arfan yakin ini adalah keputusan yang tepat. "Pak, nama saya masih terdaftar di pertandingan ini, kan?" tanyanya pada Pak Anton.

Pak Anton mengangguk, "tapi kamu dilarang masuk pertandingan, keadaan kamu belum memungkinkan," sela Pak Anton yang mengerti kemana arah pembicaraan Arfan."Ini kesempatan besar untuk SMA Cempaka masuk final, Pak," pungkas Arfan yang kini mulai bersiap masuk ke lapangan. Ia segera memakai jersey kebanggaan SMA Cempaka dan berlari menuju lapangan.

"Fan?!" Gio tentu saja tidak serta merta senang dengan kehadiran Arfan. Raut wajah laki-laki itu memancarkan kepanikan dan kekhwatiran pada sahabatnya yang nekad melanggar peringatan dokter. "Sampe poin kita aman aja, setelah itu gue keluar," pungkas Arfan dengan menepuk pundak Gio.

Pertandingan pun dilanjutkan, kini tim SMA Cempaka memimpin pertandingan dengan skor yang jauh di depan tim lawan. "Fan, keluar lapangan!" pinta Gio pada Arfan yang masih meneruskan permainannya.

Arfan merindukan dunia basket yang sudah hampir dua bulan ia tinggalkan. Ia terus berlari dan mendribble bola kesana kemari seakan mengatakan pada dunia bahwa inilah jati dirinya. Sedangkan Sherin yang juga berada di kursi penonton mulai panik. "Keluar Fan!" kini giliran Vanda yang meminta Arfan keluar lapangan, apalagi saat melihat wajah Arfan mulai memucat walaupun dengan senyuman yang terus ia umbar. "Sedikit lagi," balas Arfan yang terus mendribble bola dan siap memasukkan bola ke ring.

"Yes!" bola tersebut berhasil masuk ke ring. Waktu pertandingan hanya tersisa 5 menit dengan hasil kemenangan yang sudah dapat dipastikan milik SMA Cempaka. "Fan, gue nggak ngerti harus jawab apa kalau Revan tau, please keluar sekarang," ucap Bian dengan menurunkan nada bicaranya.

Arfan mengerti kekhawatiran para sahabatnya itu, ia pun keluar dari lapangan dengan perasaan bahagia karena akhirnya bisa ikut andil dalam kemenangan SMA Cempaka.

Arfan kini berjalan menuju ruang medis dengan tersenyum bangga, ia ingin memberi kabar pada Ansel bahwa tim kesayangan mereka berhasil lolos menuju final, seperti yang menjadi cita-cita mereka.

Namun saat tiba di depan ruang medis, langkahnya melemah.

Bruk!

Arfan terjatuh dan tiba-tiba pingsan. Sherin yang mengikuti Arfan langsung berteriak histeris, ia  memanggil beberapa petugas dan membawanya ke ruang medis.

Sedangkan disisi lain, Ansel dan Audrey hendak keluar dari ruang medis, namun langkah Ansel berhenti saat matanya tak sengaja melihat dokter dan beberapa petugas medis sedang memberikan penanganan pada pasien. "Drey, keluar dulu," titah Ansel yang dibalas dengan anggukan oleh Audrey. Ansel membuka tirai ruang medis dan ia dapat melihat dokter sedang melakukan CPR sebagai tindakan penyelamatan apabila terjadi henti jantung. Atensi Ansel beralih pada Sherin yang kini menangis di samping pasien tersebut, perasaan Ansel mulai tak karuan.

"Arfan!" pekik Ansel saat melihat pasien tersebut adalah Arfan.

"Dok, ambulance sudah datang," ucap salah satu petugas medis. "Dorong brankar ini, saya harus terus melakukan CPR," pinta dokter tersebut, peralatan medis yang ada di ruangan ini sangat terbatas hingga tidak ada jalan lain selain melakukan CPR.

🍁REVAN DAN ARFAN 🍁

"Shit!" setelah mendengar kabar bahwa Arfan drop, Revan dan Vio langsung bergegas menuju rumah sakit tanpa memperdulikan keadaannya sendiri yang sebenarnya masih perlu istirahat.

Dengan langkah kakinya yang sedikit pincang karena cedera yang ia alami, ia terus berusaha melangkah walaupun menahan sakit. "Kenapa Lo semua biarin abang masuk lapangan?!!!!" tanya Revan saat ia baru saja tiba di depan ruang ICU. Kelima sahabatnya langsung beranjak dari duduknya dan memapah Revan.

"Apa kalian nggak tau seberapa besar dampaknya kalau abang masuk lapangan?!" Revan terus bertanya pada sahabat-sahabatnya, tetapi tidak satu pun dari mereka yang angkat bicara. "Jawab gue! Abang.. abang bisa meninggal kalau dia sampai gagal jantung," imbuh Revan dengan air matanya yang mulai menetes lagi. Ia tak dapat membayangkan bagaimana jika hal itu benar-benar terjadi.

"Van, bukan salah mereka," sahut Sherin yang langsung membuat Revan mendongak. "Sher, cukup," cegah Gio. Ia takut jika Revan tau yang sebenarnya maka ia akan berbuat nekad. "Terusin Sher!"

"Dikta... Dikta itu kapten tim lawan, sepanjang turnamen mereka main kasar sampe akhirnya Ansel mimisan dan pingsan. Lalu Arfan nekad gantiin posisi Ansel," jawab Sherin dengan bahu yang bergetar. "Dikta? Lagi-lagi dia?!" mata Revan langsung memancarkan amarah saat mendengar nama itu disebut. "Van, yang penting sekarang kita doa supaya Arfan bisa ngelewatin masa kritisnya," Ansel berusaha meredakan emosi Revan.

Tangan Revan mengepal, "Gue pastiin akan buat perhitungan kalau sampai abang kenapa-kenapa,"

Tidak lama kemudian dokter Alzam keluar dengan raut wajah yang sulit diartikan. Dokter itu menghela napas berat, "saya sudah peringatkan jangan sampai hal ini terjadi, akibatnya bisa fatal, apalagi saat bekas operasinya belum kering," Revan lagi-lagi hanya bisa menunduk, ia tak kuasa membayangkan bagaimana rasa sakit yang sekarang Arfan rasakan.

"Lalu bagaimana keadaan Arfan saat ini, dok?" tanya Gio, satu-satunya sahabat Arfan yang masih berhasil menahan air matanya. "Arfan koma," jawab dokter Alzam yang membuat Sherin langsung limbung.

Alhamdulillah bisa doble up guys...
Next chapter bakalan up kalau beberapa chapter terakhir ini rame...

Thanks a lot buat semua yang udah stay sampai sekarang, love u gaess🤍

Tetep stay sampe akhir yaa... 🥰

"Tentang keinginan yang masih menggebu kala takdir menginginkan kita berhenti,"
05-05-2022

Aku Bukan Abang || Available Book VersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang