04

6.3K 663 74
                                    

Jam yang melingkar di pergelangan tangan Daren telah menunjukkan pukul empat sore. Sekolah belum sepi, banyak siswa yang mengisi kegiatan ekskul masih berlalu lalang.

Almamater biru langit malam yang biasa terpasang rapi, kini telah ditanggalkan. Menyisakan seragam dengan dasi yang tampak miring.

Langkahnya memelan ketika mendekati tempat dimana kekasihnya sering menghabiskan waktu.

"Andre bawa senjata, anjir. Kalo gue gak gesit, langsung end nyawa gue."

Daren tidak begitu familiar dengan suara ini, ia tak mengetahui siapa pemilik suara rendah itu.

"Jangan ada yang bilang ke Daren. Jangan sampe ketauan pokoknya."

Untuk yang satu ini, jelas Daren kenal. Ia segera memasuki warung yang telah menjadi tongkrongan anak sekolahnya itu.

"Emang kenapa kalo gue tau? Takut lo sama gue?"

Suasana ribut yang tadi memenuhi ruang di antara mereka, seketika kabur melesat jauh. Hanya hening yang hadir untuk beberapa detik.

Daren mendekat ke arah Amadeo, berdiri tepat di hadapan pemuda yang tak lagi mengenakan seragamnya. Jemarinya mengangkat dagu yang lebih tinggi agar bersitabrak dengannya.

Melihat situasi yang lumayan panas, kawanan Amadeo memilih minggat guna menghindari panas yang makin menyerang.

Daren menyentuh luka baret yang hadir di kening si sagittarius, buatnya meringis pelan dan refleks memalingkan wajahnya.

"Sakit?"

Amadeo mendongak, lalu menggumam, "Dikit."

"Payah."

"Huh?"

"Lo bisa main pukul-pukulan sama orang, tapi gue pegang doang kesakitan."

Tatapan Daren melembut, ia menjauh dari Amadeo. Pergi sesaat dan kembali membawa satu kantong plastik di genggamannya.

"Liat sini."

Amadeo hanya menurut, mengikuti arahan dari sang pujaan dalam diam. Amadeo menatap wajah Daren yang tampak sangat fokus.

Astaga, lucu sekali.

Daren mengerutkan keningnya, bibirnya mengerucut, matanya menatap luka-luka di wajah Amadeo yang tengah ia bersihkan dan dibubuhkan alkohol.

"Sshh."

Daren cukup terkejut dengan pergerakan Amadeo yang tiba-tiba, "Sakit banget? Maaf."

Pemuda Bramantio itu menggeleng pelan, "Kaget aja."

Selesai itu, Daren kembali memasukkan semua bekas yang ia gunakan ke dalam plastik.

Tatapan yang tadi melunak kini kembali menajam. Kelembutan yang tadi disisipkan di tiap perlakuan Daren, kini tak lagi hadir.

"Jangan galak gitu, muka lo bukannya nyeremin malah ngegemesin," ujar Amadeo.

Daren mendengus, "Gue heran deh. Tujuan lo pada tawuran itu karena apa?"

Amadeo tak langsung menjawab, ia meraih jemari Daren guna digenggamnya erat.

"Soal harga diri."

Daren menatap netra kelam milik si sagittarius lamat-lamat, "Tapi gak harus pake otot gini kan? Diam tuh bukan takut dan kalah-"

"Tapi gue gak bisa diem aja kalo mereka udah bawa-bawa nama lo, Daren."

Seketika Daren terdiam, bingung hal apa dalam dirinya yang menjadi bahan permasalahan. Daren rasa dirinya tidak seistimewa itu untuk dijadikan sebuah permasalahan.

"Apa yang bikin gue diributin?"

Amadeo kini membawa Daren untuk duduk di sisi kosong di sebelahnya. Keduanya duduk berhadapan.

"Ada banyak hal istimewa diri lo yang bikin mereka pengen milikin lo. Tapi lo punya gue, Ren. Cara lain supaya dendam mereka terlampiaskan ya ngajak ribut gue dengan ngejelekin lo."

Daren terdiam, merasa bingung respon apa yang harus ia keluarkan.

"Ketua mereka, si Bagas, mau lo jadi milik dia, Ren. Gak bisa. Lo milik gue seorang. Cuma gue yang punya."

Tak ada waktu bagi Daren untuk merona, ia kembali mencari titik baret di seluruh badan Amadeo. Menemukannya di buku-buku jemari si putra desember.

Daren meraih jemari lebar milik Amadeo, mengusapnya pelan, "Lo liat tuh. Luka begini tangannya, emang gak sakit?"

Amadeo tampak menggeleng, "Nggak, soalnya gue ganteng."

"Gak ada korelasinya, Amadeo."

"Ya gak apa-apa sih, yang penting gue ganteng."

Daren menggeleng pelan, memilih tidak melanjutkan topik random itu. Helaan napas kembali terdengar, yang satu ini lebih berat dan cenderung kasar.

"Kenapa?"

Daren menoleh, menatap Amadeo yang mengajukan pertanyaan ambigu itu.

"Apanya kenapa?"

"Kenapa lo hela napas kayak gitu?"

Daren menggeleng pelan, ia terdiam sesaat sebelum akhirnya mengajukan pertanyaan yang sedaritadi hadir dalam kepalanya.

"Lo bisa bikin gue ketemu sama dia?"

Amadeo langsung menatap sang kekasih dalam-dalam.

"Sekalipun gue bisa. Gue gak mau bikin lo ketemu sama si brengsek itu."

Daren kembali menggenggam jemari Amadeo, "Tolong. Gak akan terjadi apa-apa."

"Gak ada jaminan untuk itu, Daren. Kalo gue yang kena hantam gak apa-apa, kalo lo? Guenya ikut kenapa-kenapa."

"Gue jamin. Dia gak akan berani nyentuh gue seujung jari pun. Percaya sama gue."

Amadeo masih menggeleng, menolak permintaan aneh sang kekasih. Ia tak habis pikir dengan cara kerja logika Daren.

"Amadeo, gue sabuk hitam taekwondo. Sebelum dia berhasil berbuat yang nggak-nggak ke gue, dia bisa gue banting duluan."

Amadeo masih tetap pada pendiriannya, ia tak mau mempertemukan Daren dengan lawannya itu. Amadeo tak bisa menjamin Daren akan baik-baik saja setelahnya. Ia hanya tak ingin Daren terluka.

"Gue tetep gak akan kasih kesempatan itu."

Daren berpikir sesaat, "Lo yang bikin pertemuannya atau gue yang cari sendiri?"

Sialan. Jika seperti ini Amadeo tak ada pilihan lain selain mempertemukan Daren dengan Bagas. Sebab, jika ia biarkan Daren mencarinya sendiri, ada kemungkinan terburuk yang paling Amadeo hindari.

Genggaman yang tadi sempat terlepas, kini kembali Amadeo eratkan.

"Denger. Nanti gue ajak lo ketemu dia. Dengan satu syarat, lo harus tetep ada di deket gue."

Daren mengangguk pelan, setuju dengan syarat yang Amadeo berikan.

Dengan satu tarikan, Amadeo membawa Daren ke dalam dekapannya, "Gue sayang lo, Daren. Gue gak mau lo kenapa-kenapa."

pengen punya pacar kayak amadeo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

pengen punya pacar kayak amadeo.

lovers || wonki / nikwonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang