□■□■□■□■□
Setiap kali gadis itu ada di sana, selalu berakhir penuh keributan.
Hinata Hyuuga memiliki nama lain yaitu Lilith, dalam cerita kuno bahwa dia adalah istri pertama Adam yang suka membangkang. Seperti julukannya, Hinata bukan gadis yang mudah patuh bahkan pada bibinya yang seorang mucikari, membawanya masuk ke dalam dunia pelacuran. Meski begitu, Lilith terkenal karena dia tidak hanya cantik, tapi anggun, dan mudah bertutur kata. Dia memiliki semuanya, dan berhasil menarik pria hidung belang, walaupun dari mereka hanya melihat parasnya tanpa berhasil untuk tidur dengannya.
Lilith menarik rambut gadis kurang ajar itu. Membawanya ke hadapan bibinya yang terlalu biasa menemukan pemandangan seperti ini. Si keponakan bahkan masih mengenakan baju tidur tipis gelapnya. Siapa pun yang melihat akan menyukai buah dadanya, atau pinggul menggiurkan.
"Aku tidak suka dia!" katanya dengan marah, si bibi hanya melirik sebentar, sebelum akhirnya dia melihat seluruh tagihan yang harusnya segera dia lunasi. "Kenapa bisa-bisanya anak ingusan ini menggunakan kamar mandi pribadiku."
"Kamar mandi di bawah sedang diperbaiki," sang bibi menatap matanya. "Dia hanya anak baru, yang tentu saja tidak tahu bahwa kamar mandi di lantai itu milikmu."
"Dia menggunakan sabunku."
"Ayolah, Bibi akan membelikan sabun itu lagi untukmu, lengkap dengan isi ulang," Hirumi melirik para algojo di depan pintu, menunggu perintah bahwa dia perlu menarik salah satunya. Tapi tentunya mereka tahu, Lilith tidak pernah berada dalam perintah untuk ditarik keluar dari mana pun selama berada di wilayah mereka, karena gadis itu, lebih dari mengerikan. "Bawa anak baru itu pergi, suruh dia berkemas, atau kirim dia ke rumah yang lain."
"Baik, Madam."
Hirumi melihat Lilith kembali. "Kamu sudah tenang sekarang? Tidak ada lagi anak baru itu di sini. Lalu, sekarang kembalilah ke kamarmu. Tapi jika kamu ingin menerima tamu, aku akan lihat daftar tunggu VIP, dan pilih siapa yang ingin kamu temui."
"Aku tidak berminat bertemu dengan siapa-siapa."
"Kalau begitu, apakah kamu ingin minum denganku saja di balkon?" Lilith melirik bibinya. "Sambil merokok dan mengobrol banyak hal. Kita sudah lama tidak melakukannya."
"Kalau dalam obrolan kita ada ibu dan ayahku," pandangannya kembali menajam. "Jangan pernah kamu berharap aku akan ikut bersamamu ke atas."
"Untuk apa aku membahas mereka. Kita berdua pergi dari keluarga sialan itu bersama-sama, dan dengan visi yang sama. Tidak ada lagi peraturan serba kuno dalam kehidupan kita berdua."
Hampir setidaknya sepuluh tahun lalu, ketika dia berusia 20 tahun, Lilith meninggalkan semuanya, termasuk namanya. Pada awalnya dia menggunakan nama Lili, dalam segala hal dia ingin dianggap mulia. Lalu, entah mengapa nama itu berubah menjadi Lilith, bahkan kemudian dia tidak pernah peduli. Julukan tersebut untuk situasi kali ini tampak sesuai, dan dia menyukainya.
"Kamu terlalu lama berpikir."
"Tidak perlu berganti pakaian, kita berpesta sendiri di atas."
Lilith pergi lebih dulu dari ruangan itu, melewati banyak orang yang mendadak tersipu melihatnya berjalan tanpa alas kaki di kelab yang menyatu dengan rumah pelacuran paling terkenal di distrik merah. Tidak ada yang tidak tahu Hirumi, atau tidak tahu siapa itu Lilith yang cantik. Mereka adalah bibi dan keponakan yang banyak dibicarakan, semua orang memiliki alasan ingin bertemu mereka di sini.
Sampainya di atas, balkon itu ternyata sudah ada seorang pramusaji, menyiapkan keperluan mereka ketika Hirumi mungkin saja menghubungi mereka.
"Jika ada yang Anda inginkan, mohon beritahu kami, Ma'am."
"Ya, tentu saja," dia melihat pramusaji itu seperti orang kurang sehat. Dia segera bergerak untuk mendekati, dan menyusul wanita itu. "Apakah kamu baik-baik saja?"
Pramusaji itu tersenyum. "Tentu," tapi Lilith tahu, wanita itu sedang menyembunyikan sesuatu.
"Kamu tidak baik-baik saja."
"Anda benar," katanya. "Siang tadi, anak saya baru masuk rumah sakit. Saya harus meninggalkannya karena bekerja."
"Apakah dia sudah baik-baik saja?" wanita itu menggelengkan kepala. "Pulang saja kalau begitu, temani anakmu."
"Saya harus bekerja," katanya lagi. "Saya membutuhkan banyak uang untuk pengobatannya."
Lilith tersenyum sebentar. "Apa kamu punya pena dan kertas?" wanita itu sedikit kebingungan, tapi akhirnya dia mengeluarkan kertas dan pena yang selalu dia bawa selama bekerja untuk mencatat pesanan pelanggan. "Tulis berapa nomor rekeningmu, aku akan bayar untuk waktu istirahatmu bersama anakmu."
"Tidak perlu, Ma'am."
"Uang tidak berarti apa-apa bagiku. Aku tahu kamu, yang biasanya sering sarapan bersama putrimu setelah kamu pulang kerja. Tidak sekali aku melihat kalian pergi bersama-sama. Dia sangat cantik, dan aku berharap dia cepat sembuh agar bisa membuat ibunya kembali tersenyum."
Lilith turut prihatin, tapi juga senang bisa membantu keluarga kecil itu.
Setiap kali dia pergi untuk mencari angin, atau berolahraga menghilangkan sisa-sisa mabuk. Dia melihat si pramusaji itu berjalan dengan gadis belia yang mengenakan seragam SMP. Mereka berbicara bersama-sama, makan kudapan bersama, atau sarapan pagi bersama di sekitar distrik. Keluarga yang penuh kebahagiaan dan juga hangat. Tentu saja dia akan tahu begitu wanita itu agak berbeda dari biasanya yang berseri-seri dan semangat. Malam ini, wanita itu pucat dan sembap.
Sementara tadi pagi, dia tidak melihat ibu dan anak itu seperti biasa. Lilith mempertanyakan, apa yang sedang terjadi pada mereka, dan inilah sekarang.
Setelah kepergian pramusaji itu dari balkon, Hirumi duduk dengan menarik ujung bibirnya. "Seseorang akan tersentuh melihat kebaikanmu," katanya, sembari menuangkan vodka ke gelasnya. "Atau mereka akan menganggapmu hanya pencitraan saja?"
Lilith memutar bola matanya.
"Hampir anak-anak di sini takut padamu, karena kamu menyeramkan bagi mereka. Tapi tentu saja anak-anak lama akan membatah itu, karena bagi anak-anak lama, kamu hanya adik kecil yang manis."
"Berhenti mengoceh."
"Kita berdua kemari untuk mengoceh, sambil minum," Hirumi menyerahkan daftar VIP. "Ada tamu yang tidak terduga. Orang-orang kaya lama yang sedang berpesta di aula paling mahal milik kita. Kamu tidak ingin datang?"
"Tentunya, aku tidak ingin membuat banyak kekacauan. Berurusan dengan orang kaya banyak uang, akan membuat kita bangkrut bersama."
"Kamu terlambat menyadarinya."
Walaupun Lilith tidak tertarik, tetapi dia mengambil daftar penuh orang-orang kaya tersebut. "Naruto Uzumaki?" dia melirik bibinya. "Kalau tidak salah, dia yang akhir-akhir ini masuk majalah bisnis Jepang?"
"Kamu mengikuti kabarnya?"
"Tidak, hanya sekilas aku melihat dari majalah-majalah di sekitar distrik. Wajahnya terpampang jelas di depan."
Hirumi mencondongkan tubuhnya ke depan keponakannya. "Dia tinggal di pulau dengan luas dua hektare. Sebelum memasuki pulau itu, kamu perlu melewati hutan, dan jembatan panjang."
"Hanya itu?"
"Tentu saja tidak. Aku punya kenalan yang pernah bekerja di bawah keluarga Uzumaki. Keluarga mereka tampak suram. Mungkin saja kaya, tapi aku tidak ingin berurusan dengan keluarga tersebut," Lilith tidak peduli dengan itu, tapi dia tampak penasaran, dan Hirumi menyukainya. "Aku tidak tahu pasti berapa luas wilayahnya, tapi dia memiliki semua pulau pribadi di sekitar Tokyo dan Okinawa. Dari keduanya, aku tidak tahu mana rumah dengan dua hektare luasnya."
"Rumit, jika kamu tidak benar-benar ke sana untuk memastikannya."
Hirumi terbahak-bahak. "Keponakanku tersayang," ujarnya masih terlihat geli. "Apa kamu bermaksud untuk merayunya dan memastikannya sendiri?"
"Apa sih maksudmu, tentu saja tidak!"
□■□■□■□■□
BERSAMBUNG

KAMU SEDANG MEMBACA
OVER MISTAKES ✔
FanfictionNaruto tidak dikenal sebagai orang kaya pada awalnya. Dia anak jalanan yang kehilangan ingatan karena trauma semasa kecil, sebelum akhirnya dia diadopsi oleh keluarga Uzumaki. Masa lalu penuh trauma itu menciptakan pribadi yang tidak percaya pada si...