□■□■□■□■□
Naruto tidak pernah bangun tidur dan menemukan seorang gadis ada di sampingnya selagi mendengkur lembut. Di dalam rutinitas pagi, dia akan disambut oleh Tsuki, dan pria itu akan membawakan secangkir kopi tanpa gula. Jika pun dia tidak mau kopi paginya terlalu pahit, Tsuki akan sedikit menuangkan gula atau krim ke dalamnya. Akan tetapi pagi ini, dia terbangun dengan termenung menatap ke atas hampir sepuluh menit tidak melakukan apa-apa.
Di dalam selimut, Naruto merasakan kelelakiannya menegang, seperti yang dirasakan setiap kaum lelaki di dunia ketika pagi tiba. Saat gadis di sampingnya melenguh, lalu membuka mata, Naruto berhenti berbaring, mencoba untuk turun. Tapi tangan gadis itu melingkari pinggulnya, mencegahnya untuk pergi dari kasur.
"Kamu tidak berpikir untuk pulang ke rumah, 'kan?" tanya Hinata, dia menyulut kembali harga diri Naruto, seakan-akan gadis itu ingin berkata, kamu kabur dan siap mengadu kepada orangtuamu sebagai anak laki-laki yang baru saja dilecehkan. "Benar?"
Pada saat itu, Naruto kembali membaringkan badannya di samping Hinata, dia tidak mau kalah, lebih tidak mau diremehkan terus-terusan, tanpa menyadari bahwa dia baru saja dikendalikan daripada lagi-lagi punya sikap kendali kuat pada submisif-nya. "Lalu, jika aku tetap di sini apa yang akan kamu lakukan?"
"Jangan bilang kamu penasaran? Kamu benar-benar mirip remaja lelaki yang tidak tahan berdekatan dengan seorang gadis," goda Hinata. Dia mendekati Naruto, merangkak ke atas tubuh lelaki itu. "Apa setiap pagi semua laki-laki di dunia ini sepertimu? Kamu terasa tegak sempurna. Tadi malam, kamu bahkan lebih dulu kelelahan. Aku jadi penasaran, apa yang kamu lakukan selama tidur dengan gadis-gadis yang kamu bius itu, ketika kamu sendiri sepertinya tidak punya gaya bercinta."
"Kamu bisa mencobanya," suara Naruto tak bergetar, justru terdengar seperti sedang menantang. "Saat kamu masih sadar, aku benar-benar tidak berdaya. Bagaimana jika kamu menelan satu pil tidur, aku akan senang hati merekamnya. Saat itu, kamu bisa tahu bagaimana caraku bermain."
Masih duduk di atas perut Naruto, Hinata membungkuk untuk mengambil sesuatu di dalam laci di sebelah kasurnya. Ia mengeluarkan botol putih kecil berisi obat yang dia beli di apotek, mengambil dua pil dari sana, dan menelannya.
Hanya butuh setidaknya sepuluh menit matanya menjadi lebih berat. Ia jatuh ke samping dengan tubuh yang mendadak lemah. Dia tidak pernah suka dengan rasa kantuk semacam ini; begitu memusingkan dan membuat semuanya melayang. Tapi setidaknya, ketika keperawanannya terobek, dia tidak akan merasa kesal karena rasa sakitnya; begitulah seorang gadis sering mengeluhkan untuk pertama kali mereka melakukannya, dan semua rasa sakit menjalar hampir di seluruh selangkangan.
□■□■□■□■□
Tidak dapat dibantah bahwa yang dirasakan olehnya adalah rasa khawatir mengenai keponakannya yang sekarang sedang membawa seorang laki-laki ke kamarnya.
Di lantai di mana Hinata tinggal, Hirumi ada di sana siang itu, tetapi tidak berani untuk masuk ke dalam kamar keponakannya disebabkan oleh etika sebagai seorang induk semang. Dia tidak harusnya masuk ketika seorang klien sedang bermalam dengan anak-anaknya, tidak peduli bahwa anak yang dimaksud itu adalah keponakannya sendiri.
Pagi buta dia mendengar dari seseorang bahwa tadi malam Hinata pulang ke rumah bersama seorang laki-laki dan membawanya masuk tanpa meminta izin kepadanya. Walaupun begitu, Hirumi tahu siapa laki-laki itu, tapi dia masih tidak berharap bahwa keponakannya membawa lelaki itu diam-diam masuk ke sana—apa salahnya mengirim pesan, pikir Hirumi kesal.
Di saat Hirumi akan mendorong pintu kamar Hinata, seorang laki-laki keluar dan mengejutkan Hirumi segera. Dia terdiam di depan laki-laki itu yang langsung menutup pintu seakan Hirumi tidak diizinkan untuk masuk.
"Dia sedang tidur," Naruto memberitahu, dan setelah itu dia tersenyum kepada Hirumi. "Aku menginap karena dia memintaku. Apa akan jadi masalah?"
"Tidak, dia bebas untuk membawa teman-temannya, tapi aku merasa dia harus memberitahuku sebelum itu. Ini terlalu tiba-tiba," balas Hirumi. "Ehm, apakah kamu ingin secangkir teh? Aku pikir kita perlu mengobrol. Apa pun itu."
"Apa pun itu?" Naruto melirik ke arah pintu kamar. "Atau soal Gaara Sabaku?"
"Sepertinya aku tidak berhak bertanya kepadamu," daripada ingin bergerak untuk mengikuti ke mana Hirumi pergi, Naruto justru diam di tempat seperti sedang menghadang siapa pun agar tidak masuk ke dalam kamar Hinata. "Apa kita membicarakannya di sini saja?"
"Apa aku boleh bertanya? Tapi ini bukan soal kalian berdua," kata Naruto. "Ini mengenai Hinami, Ibumu," Hirumi merasa terkejut mendengar nama itu disebutkan. Semua orang tahu, bahwa ibunya bukan bernama Hinami, melainkan Hanami. Nama lama ibunya terpendam jauh, dan tidak ada siapa pun yang tahu bahkan keluarganya sendiri, tetapi mengapa pria di depannya menyebut nama itu?
"Apa Hinata menceritakan soal neneknya kepadamu? Dia memang sangat menyayangi ibuku."
"Tidak. Aku mengenal ibumu jauh sebelum kita bertemu."
Hirumi amat penasaran, tetapi dia hanya menunduk seolah ada luka yang tidak bisa dikatakannya. Naruto mengerti itu, jika mau berpikir lebih dalam, ini mungkin ada kaitannya dengan kematian ibunya, lalu dia yang kemudian kehilangan ingatan sampai pada akhirnya keluarganya sendiri mengadopsinya.
"Tidak perlu diceritakan jika memang kamu tidak ingin menceritakannya kepadaku."
"Ini ada kaitannya dengan Hinata juga, aku jadi tidak bisa sembarangan menceritakan masalah itu."
Naruto menghela napas, tanpa sadar dia bertatapan langsung dengan mata Hirumi yang kelam. "Sekarang, aku tahu mengapa kamu membawa Hinata pergi dari keluarganya."
□■□■□■□■□
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
OVER MISTAKES ✔
FanfictionNaruto tidak dikenal sebagai orang kaya pada awalnya. Dia anak jalanan yang kehilangan ingatan karena trauma semasa kecil, sebelum akhirnya dia diadopsi oleh keluarga Uzumaki. Masa lalu penuh trauma itu menciptakan pribadi yang tidak percaya pada si...