□■□■□■□■□
Ketika pria bernama Tsuki menemuinya, Hinata pikir dia tidak akan pernah dipertemukan oleh Naruto Uzumaki. Dia terlalu banyak berburuk sangka, karena pria sekelas Naruto memang tidak mudah ditemui. Orang-orang seperti itu terkadang punya cara tidak sopan untuk mengusir seseorang yang tidak harap ditemui oleh mereka. Namun pria itu kini ada di seberang meja makan—mengajak makan malam tentu saja tidak pernah Hinata pikirkan akan terjadi. Pria itu jelas tidak sedang menghindarinya, tetapi dia perlu mencari tahu lebih banyak mengapa Naruto tidak datang kepadanya lagi.
"Bibiku bukan hanya kurang sehat, tapi dia seperti sedang memikirkan sesuatu."
Naruto tidak berhenti dari kegiatannya untuk mengiris daging setengah matangnya, sementara ketika dia berhasil memotongnya menjadi lebih kecil, dia mencelupkan daging itu ke dalam bumbu steik, lalu melahapnya. Naruto terlihat tidak tertarik dengan percakapan yang menyangkut siapa pun kecuali mereka berdua.
"Aku pikir kamu mengancam Bibiku," Naruto mendongak, dia tertarik ketika gadis di depannya itu sedang menuduhnya sesuatu—dan tentunya, Naruto tidak sekalipun merasa dia sudah bertemu dengan Hirumi akhir-akhir ini. "Kita sudah melakukan perjanjian, dan tertulis di sana bahwa kamu hanya melibatkan aku. Mengapa kamu membuat Bibiku merasa tertekan?"
Naruto meletakkan garpu dan pisau makannya, lalu mengelap ujung bibirnya, dan membela diri setelahnya. "Atas dasar apa kamu menuduhku seperti itu?" Hinata terdiam. "Aku pikir kamu kemari merindukanku. Setidaknya bertanya, kapan kita bisa berbagi kamar lagi. Tapi kamu datang kemari hanya untuk menuduhku?"
"Menuduh?"
"Ya, menuduh. Aku tidak tahu kapan persisnya aku mengancam Bibimu. Kami bertemu terakhir kali di pulau Uchiha, dan setelah itu kami bahkan tidak bertemu lagi. Aku tidak tahu alasannya mengapa kamu menuduhku seperti itu."
Hinata mengalihkan tatapannya, tetapi dia tidak tahu, apakah perlu untuk mengakui kesalahannya. "Kamu tidak dapat dipercaya."
"Benar, sejak dulu aku tidak dapat dipercaya," Naruto melanjutkan makannya, perseteruan yang dilayangkan kepadanya seakan tidak pernah terjadi di antara mereka. "Jika aku memberitahumu tentang aku mencari sesuatu tentang dirimu, apakah kamu akan marah kepadaku?" Hinata kembali menjatuhkan pandangan ke arah Naruto. "Apa kamu mengenal wanita bernama Hinami?" gadis itu menatap Naruto dengan tatapan tidak percaya, seakan-akan mengapa nama itu keluar dari bibir pria itu. "Sepertinya kamu mengenal wanita itu. Apakah dia salah satu Hyuuga?"
Bibir Hinata melengkung, dia tidak berani mengatakannya, tetapi tentu saja dia mengenal siapa itu Hinami—wanita tersebut adalah orang yang paling berarti baginya. Tidak banyak yang bisa dia katakan, hanya kesedihan yang mungkin lagi-lagi terasa sangat nyata.
Naruto memerhatikan tatapan sendu Hinata, yang tidak pernah berbohong untuk merasa sedih, marah, atau kesal pada sesuatu. Gadis itu memang berbeda dari gadis yang ditargetkannya untuk menjadi seorang submissive.
"Ketika pertama kali di hari itu aku melihat namamu, aku teringat seorang bernama Hinami. Entah sejak kapan, tapi nama itu sampai sekarang terngiang-ngiang dalam benakku. Tidak banyak yang bisa aku katakan mengapa aku tahu nama itu, tapi seseorang menyebutnya penuh dengan penghormatan. Aku hanya ingin tahu, apa dia mengenalku—satu-satunya orang yang mungkin tahu siapa aku."
Hinata meletakkan alat makannya. Dia benar-benar tidak berselera dengan segalanya, suasana, atau makanan yang tampak lezat. Juru masak tidak asal-asalan untuk membuat makanan itu bukan sekadar indah untuk dipandang.
"Hinami adalah nama Nenekku sebelum dia menikah dengan Kakekku," pandangan Naruto kembali kepada Hinata. "Dia sudah meninggal bertahun-tahun lalu."
Bagaimanapun itu, Hinata tidak menyangka ada yang mengenal nama neneknya.
"Kamu cucunya," Hinata termenung sesaat, lalu matanya terasa panas.
Sejak kematian neneknya, dia terus-menerus dilanda kesedihan. Tidak ada satu orang pun yang dapat dia percayai sekadar menerima keluhannya, mengenai keluarga yang seakan tak satu pun mengerti apa yang dia sukai atau tidaknya. Mendengar nama neneknya disebut, dan bertemu dengan seseorang yang tahu nama itu, dia tidak bisa menyembunyikan wajah keterkejutan, selain itu tentunya, dia tidak pandai menahan kesedihannya mengingat wanita itu sudah tidak ada di sisinya.
"Aku turut berduka."
"Nenekku begitu dicintai oleh banyak orang, bahkan jika dunia ini dapat mengekspresikan perasaan mereka, sebagai buktinya, pohon sakura mekar tepat kematiannya."
"Sesuai dengan namanya, dia orang yang sangat hangat, dan peduli pada orang di sekitarnya," Hinata menjadi lebih tertarik kepada Naruto, karena pria itu mengenal neneknya, meski tidak pernah bertemu secara langsung, akan tetapi sepertinya mereka terhubung.
"Apa kelainan yang kamu alami ada kaitannya dengan Nenekku?"
Naruto mengangkat pandangannya. Dia melihat Hinata dengan penilaian yang berbeda kali ini. Mengapa dia baru menyadari bahwa gadis itu sangat cantik—jauh lebih cantik dari biasanya. Naruto menelan ludah berat, dia tidak mampu menjawabnya, karena dia sendiri tidak tahu sejak kapan dia merasa tertarik dengan mayat dan merasa perlu untuk bercinta dengan mereka.
"Tidak apa-apa kamu tidak menceritakannya, aku tidak berhak tahu."
Naruto menghela napas berat. "Sejak kecil kehidupanku tidak baik," selagi memberitahu gadis itu, dia meyakinkan dirinya sendiri, tidak ada salahnya dia mulai terbuka, tetapi apakah caranya benar dengan membicarakan semua itu kepada gadis yang menjadi submissive-nya. "Jika Nenekku masih hidup, dia mungkin akan memukulku saat aku menceritakan siapa diriku kepada orang lain."
Hinata menyimak, dia tidak hanya sekadar penasaran, tetapi merasa kasihan.
Baginya mudah untuk menutupi seluruh rasa takutnya, tapi dia bertanya-tanya, apakah kali ini dia bisa melakukannya, pada orang yang terhubung langsung dengan Hinami. Wanita itu sudah meninggal, sekarang mau tidak mau dia harus melupakan keinginannya untuk tahu, siapa dia dan apa hubungan Hinami dengan Kushina Uzumaki, yang secara terlambat Naruto mengetahuinya, bahwa wanita itu adalah ibu biologisnya.
Mata Naruto pun jatuh kepada Hinata. Wajahnya bersinar oleh keingintahuan yang lebih besar dari sebelumnya, dan sedikit demi sedikit terlihat kabur, tergantikan oleh senyuman seorang wanita yang kelihatan sangat samar. Memorinya tercerai-berai, apakah mungkin tercampur oleh masa lalu saat dia masih menjadi seorang anak laki-laki yang dicintai oleh ibunya.
"Apakah—" suara Naruto tergetar. "Kamu punya wajah yang sama dengan Nenekmu?"
Hinata segera mengambil dompetnya, dan menarik satu lembar foto masa muda neneknya. Kemudian dia menyerahkannya kepada Naruto dengan mendorong foto itu di atas meja mendekati laki-laki tersebut.
Naruto tidak berani untuk melihatnya, tapi pada akhirnya dia mengambil lembar foto itu untuk dilihat, apakah benar dalam bayangannya bahwa kedua orang itu punya wajah yang sama. Dan setelah melihat foto itu, Naruto kembali menjatuhkan pandangannya kepada Hinata. Tidak mampu disangkal, Hinami memang berada dalam ingatannya, saat wanita itu jauh lebih muda.
"Aku pernah bertemu dengan Nenekmu," katanya. "Mungkin tidak hanya Nenekmu, kita berdua pernah bertemu."
□■□■□■□■□
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
OVER MISTAKES ✔
FanfictionNaruto tidak dikenal sebagai orang kaya pada awalnya. Dia anak jalanan yang kehilangan ingatan karena trauma semasa kecil, sebelum akhirnya dia diadopsi oleh keluarga Uzumaki. Masa lalu penuh trauma itu menciptakan pribadi yang tidak percaya pada si...