7

40 33 10
                                    

Di sebuah ruangan yang didominasi oleh rak rak yang tersusun berbagai file dan dokumen yang tertata rapi itu ada seorang cowok yang tengah serius dengan berkas yang ada di hadapannya.

"Arrghh!" Cowok itu menggeram kesal sambil mengacak rambutnya hingga terlihat berantakan.

Dirinya mengambil telepon yang ada di atas meja dan mulai mengetikkan beberapa nomor sebelum akhirnya menempelkan gagangnya ke daun telinga.

"Tolong ke ruangan saya sekarang!" Dia kemudian kembali menaruh gagang telepon itu ke tempatnya semula.

Tokk tokk tokk
Tak lama terdengar ketukan pintu dari arah luar.

"Masuk!" Pintu terbuka menampilkan pria separuh baya dengan setelan kemeja rapi lengkap dengan dasi.

"Maaf sebelumnya, Pak Farhan manggil saya ada apa?" Tanyanya setelah berada di hadapan cowok yang dipanggil Farhan itu.

"Duduk! Saya mau nanya sama kamu, ini maksudnya apa?" Tanya Farhan sambil menyodorkan berkas yang baru saja dibacanya tadi.

Pria tadi duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Farhan kemudian mulai membuka berkas itu.

"Loh? Saya nggak pernah membatalkan kerjasama manapun pak. Apalagi kerjasama besar ini, mana berani saya," ucap pria itu setelah membaca isi berkasnya.

"Terus apa ini? Perusahaan bisa terancam bangkrut kalau begini!" Farhan memejamkan matanya sebentar berusaha untuk meredamkan emosinya.

"Maaf pak, saya bener bener nggak tahu tentang ini. Saya juga nggak ngerti kenapa bisa mereka membatalkan kerjasama ini tiba tiba."

"Yasudah kamu boleh keluar," ucap Farhan sambil memijat pelipisnya pelan.

***

Asap rokok mengepul memenuhi ruangan yang nampak temaram dengan cahaya minim yang meneranginya. Seorang cowok duduk di kursi kayu dengan satu tangan memegang rokok dan satu tangannya lagi memegang ponsel.

Drtttt drrttt
Ponselnya menyala menampilkan telepon dari seseorang. Setelah menggeser tombol hijau, dirinya kemudian menempelkan ponselnya ke daun telinga.

"Gimana?" Tanyanya langsung ke inti.

"Beres bos. Kami sudah menjalankan semuanya sesuai perintah," ucap seseorang dari sebrang sana.

"Bagus. Pastikan semuanya membatalkan."

"Bos tenang saja, saya sudah memastikan mereka membatalkannya. Dan mereka akan rugi besar bahkan terancam bangkrut."

Senyum licik terpampang jelas di wajah cowok itu. Dirinya merasa puas dengan kabar yang baru saja dia dengar. Dia kemudian mematikan ponselnya setelah mendapatkan apa yang dia mau.

"Gue pastiin lo bakal nyesel karena milih tinggal sama dia," gumam cowok itu pelan.

***

"Apa apaan ini!" Bram melempar berkas yang baru saja dibacanya dengan keras. Farhan yang ada dihadapannya hanya mampu diam membisu. Dirinya pun tak tahu kenapa ini semua bisa terjadi.

"Papa kira kamu bisa papa percaya. Tapi apa ini?!" Urat leher Bram terlihat jelas menandakan bahwa dirinya benar benar marah.

"Farhan nggak tahu pa. Semuanya tiba tiba."

"Kamu memang nggak bisa dipercaya! Ini semua gara gara mereka kan?!" Farhan mendongak mendengar ucapan papanya. Dia tahu apa maksud dari ucapan itu.

"Pa, mereka nggak ada sangkut pautnya sama ini. Jangan bawa bawa mereka." Farhan terlihat khawatir jika papanya ini akan berbuat nekat.

"Ini semua jelas karena mereka. Kamu nggak fokus kerja karena ngurusin mereka. Kamu kira papa nggak tahu?!"

"Pa, please jangan lakuin itu." Farhan memelas menatap papanya yang nampak mengotak atik ponselnya.

"Segera usir mereka!" Farhan melotot menatap papanya tak percaya.

"Pa, mereka nggak salah apa apa. Papa boleh hukum aku apapun itu. Tapi jangan usir mereka. Mereka nggak punya tempat tinggal."

Bram sama sekali tak menggubris perkataan Farhan. Dirinya berlalu meninggalkan Farhan yang masih mematung di tempat.

Sedetik kemudian Farhan berlari menaiki motornya yang terparkir di teras. Dengan cepat, dia mulai menjalankan motornya sebelum semuanya terlambat.

Nampun nampaknya semesta tak berpihak padanya. Jalanan siang ini sangatlah padat. Farhan menggeram kesal. Di saat seperti kenapa dirinya harus terjebak diantara padatnya kendaraan.

Farhan terus memencet klakson motornya saat kendaraan di depannya tak kunjung jalan. Jika biasanya dia akan kesal pada orang yang memencet klakson dengan tak sabaran, maka sekarang justru kebalikannya.

"Sabar woi. Nggak lo doang yang buru buru!" Seorang cowok yang berada di samping Farhan itu menegurnya.

Farhan hanya dapat menahan kesal. Jika bukan mendesak dia juga tidak akan seperti ini.

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Farhan bisa terbebas dari kemacetan itu. Dia mulai memarkirkan motornya di tempat yang sudah terlihat rusuh. 4 pria berbadan besar berhadapan dengan 2 orang perempuan yang nampak ketakutan.

"Jangan sentuh mereka!" Farhan berteriak saat melihat salah satu dari mereka akan menarik Fatimah.

"Tolong jangan ikut campur urusan kami!" ucap pria dengan badan yang paling besar di antara mereka.

"Kami bakal pergi, tapi biarkan kami untuk membereskan semuanya." Ucapan Farhan itu berhasil membuat Fatimah terkejut mendengarnya.

"Mundur." Ke 3 pria itu nampak mundur perlahan saat mendengar instruksi dari bos mereka.

"Maksud kamu apa?!" Fatimah tak terima dengan ucapan Farhan.

"Ayo kita beberes." Farhan mengabaikan pertanyaan Fatimah membuat Fatimah menggeram kesal.

"Farhan! Maksud kamu ngomong kayak tadi apa? Mereka nggak ada hak buat ngusir anak anak!" Fatimah terlihat marah kali ini.

"Gw nggak mau ribut Fatim. Mending kita beberes sekarang." Farhan memejamkan matanya sebentar berusaha untuk meredamkan emosinya.

"Tapi nggak seharusnya kita ngalah gitu aja! Mereka nggak berhak Han!"

"Udah Fatim, benar kata nak Farhan. Ayo kita beberes aja," ucap Nila berusaha menengahi.

"Tapi bi-"

"Udah ayo." Nila menuntun Fatimah masuk ke dalam panti. Sedangkan Farhan menghampiri ke 4 pria tadi.

"Kalian suruhan papa kan? Bilangin sama dia, dia udah berhasil bikin anak panti menderita!" Farhan berlalu meninggalkan ke 4 pria tadi yang memandangnya datar.

***

"Kenapa sih kita nggak lawan aja tadi?" Fatimah masih kesal dengan keputusan Farhan yang memilih mengalah. Mereka kini tengah beberes di tempat baru yang Farhan carikan.

Untuk memuat mereka, ini memang terbilang cukup kecil. Tak sebanding dengan panti lama mereka.

"Lo nggak ngerti Fatim," ucap Farhan pelan.

"Nggak ngerti apasih? Mereka siapa? Tiba tiba datang main usir usir aja."

"Daripada ngomel terus, mending bantuin bibi masak." Nila datang menenteng dua buah kantung plastik yang berisi bahan bahan untuk dimasak.

Keduanya mulai melenggang meninggalkan Farhan yang masih membereskan barang barang mereka.

"Lo belum tahu aja udah marah marah gini sama gw, apalagi kalau lo tahu ini gara gara gw."

                              °~~~~~~~~~°

TBC
Jangan lupa vote and comment
Makasii

FaithTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang