38. ANAK YANG TERBUANG

2.1K 179 12
                                    

"Mau apa kita ke sini Aryan?" Tanya Isna saat Aryan membawanya masuk ke sebuah rumah sakit melalui pintu darurat dan naik ke lantai paling atas menggunakan tangga darurat.

Malam yang pekat menambah kesenyapan dan kesunyian lorong-lorong rumah sakit yang sepi.

Isna tak bisa berkutik karena saat itu dirinya berada di bawah todongan senjata api yang disembunyikan Aryan di balik jaket kulit miliknya yang sengaja dia kenakan di tubuh Isna.

Sesampainya di lantai teratas gedung utama rumah sakit, yakni sebuah rofftop tempat mendaratnya helikopter tentara Indonesia, karena rumah sakit ini merupakan salah satu rumah sakit khusus tentara.

Di sanalah Aryan meminta Isna untuk berdiri di sisi tembok pembatas rofftop yang ukurannya sangat rendah.

Isna memang tidak perlu bersusah payah untuk naik ke dinding pembatas itu, hanya saja pemandangan mengerikan yang sempat ditangkap oleh indra penglihatannya saat dia menoleh ke arah bawah membuatnya gemetaran saking takut.

Tubuh mungil Isna sempat oleng diterpa angin kencang yang berhembus di atas sini.

"Aryan, apa yang kamu mau sebenarnya? Aku takut jatuh," Tanya Isna yang mulai lelah menangis.

Aryan mengusap wajahnya gusar.

Masih dengan tangan yang menodongkan senjatanya ke arah Isna.

"Maaf Isna! Aku ngelakuin ini karena ingin memberi pelajaran berharga pada seorang pembunuh yang udah membuat hidupku selama ini sepi tanpa kehadiran seorang Ibu! Nggak pernah ada yang tau gimana sakitnya hatiku ketika semua anak-anak di sekolah dulu bercerita tentang sosok ibunya. Mereka diantar oleh ibu ke sekolah.  Dibawakan bekal untuk makan siang lalu kemudian dijemput. Tapi aku? Yang aku tau, selama ini aku hanya berangkat dan pergi ke sekolah di antar oleh supir pribadi! Tak pernah merasakan bekal makan siang buatan Ibu! Tak pernah ada yang menemaniku tidur dan menceritakan cerita dongeng atau menyanyikan lagu penghantar tidur untukku! Ketika hujan lebat datang, petir menggelegar di malam hari, tidak ada pelukan hangat Ibu yang bisa menenangkan aku. Yang aku tau, aku selalu melalui malam-malam menakutkan sendirian Isna! SENDIRIAAAN!" Jelas Aryan panjang lebar. Pemuda itu terlihat begitu kacau.

"Tapi selama ini kamu masih memiliki seorang Papa yang menyayangimu, Aryan! Kamu nggak boleh bicara begitu! Mas Malik sayang kamu," beritahu Isna, berharap mata hati Aryan bisa terbuka untuk menerima kehadiran sang Papa di sisinya selama ini.

Kepala Aryan menggeleng cepat. "Nggak! Dia bukan Papaku! Malik Indra Wahyuda bukan Papaku!"

Kening Isna berkerut. "Apa maksudmu Aryan?"

"Aku ini adalah anak yang terlahir dari hasil perselingkuhan yang dilakukan Mama dengan teman masa kecilnya. Selama ini, aku tahu, dalam hati Malik, dia nggak pernah benar-benar menganggapku sebagai seorang anak! Dia membenciku! Mungkin bisa jadi dia menginginkan aku mati! Itulah sebabnya, dia selalu saja sibuk dengan urusan pekerjaannya! Dia bahkan sama sekali nggak menoleh ketika aku mendatanginya untuk memperlihatkan hasil ulangan matematikaku yang mendapat nilai 100! Saat aku berkelahi dengan teman sekelasku di sekolah, Malik nggak memarahiku. Dia hanya diam, diam dan diam, lalu pergi! Semua orang bilang, jika orang tua memarahi anaknya itu tandanya dia sayang! Tapi selama ini, kenakalan apapun yang aku lakukan, Malik nggak pernah marah! Dia selalu tersenyum padaku! Bukankah itu artinya dia memang nggak pernah menyayangiku? Malik nggak pernah perduli padaku! Ketika aku berteriak di malam hari akibat takut petir, Malik nggak pernah datang ke kamar dan menemaniku tidur! Bahkan saat aku yang terlalu takut akhirnya memutuskan untuk mendatanginya ke kamar, pintu kamar lelaki itu terkunci rapat!" Satu titik air mata Aryan terjatuh meski setelahnya dia langsung menyekanya dengan cepat.

"Bukankah itu artinya, Malik memang nggak pernah menyayangiku... Kemana aku harus mengadu selama ini, aku nggak tau... Isna... Aku nggak tau..." Suara Aryan terdengar menyedihkan.

DUDA KHILAF (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang