BAB 6 WAKTU KEENAM

4.8K 519 32
                                    

"Sang waktu melewatiku, begitu saja.
Aku juga sering mengabaikannya.
sekilas sama-sama tak peduli,
Tapi bedanya jelas,
Sang waktu tak punya penyesalan
Sedangkan aku?
Dengan bebal mengharap sang waktu berulang"








.
.
.
.
Waktu keenam

Ia merasa seperti terjatuh dari tempat yang sangat tinggi, dan  merasa sangat kedinginan.

Ia berusaha menggapai sekelilingnya,  tapi tidak bisa. Dimana dirinya sekarang?.

Dengan panik ia berusaha melihat sekitarnya, tapi
Mengapa matanya berat sekali untuk dibuka?

Berkali ia mencoba membuka mata, tapi kelopak ini bahkan terasa lebih berat dari sebuah besi baja.

Kemudian Ia mencoba menggerakkan tangannya. Mengapa terasa sangat kaku?. Bahkan lehernya juga terasa seperti balok kayu keras,  kaku tak bisa ia gerakkan. Tapi ia tidak lemah yang menyerah begitu saja.

Ia mencoba menggenggam tangannya sendiri, menggerakkan jemarinya saling merapat satu sama lain, ini lebih mudah meski ia merasakan ngilu.

Setelah kedua tangannya mengepal perlahan ia lepaskan otot otot lengannya.ia kehilangan rasa, tapi tidak sepenuhnya. Ia terus berkonsentrasi penuh agar agar otot otot lengannya bisa ia kendalikan.

Ia bisa merasakan butir keringat jatuh dari dahinya. Ia tak mau berhenti. Ia tak mau terhadap lagi ke pusaran hitam yang menyedotnya tanpa ampun, yang membuatnya melayang layang tanpa bisa berpijak atau memegang.

Ia ingin berteriak, tapi tenggorokannya terasa sakit. Ia sedikit lega ketika tangannya mulai terasa rileks dan ia mulai bisa menggerakkan walau dengan gerakan samar.

Cukup untuk hari ini, ia sudah puas. Bahkan ia bisa merasa bahwa dirinya tidak lagi terhisap dalam pusaran hitam itu.

Ia hanya melihat cahaya putih yang lebih tenang dan ia bisa merasakan dirinya berbaring diatas tempat yang sangat lembut.

Kedua Ujung Bibirnya tertarik keatas membentuk lengkung senyum samar. Lalu ia terlelap kembali,  tapi kali ini ia lebih tenang.
.
.

********
.
.

Suasana pemakaman tampak mulai sepi. Orang orang yang berpakaian hitam satu persatu meninggalkan lokasi.

Disana di pusara baru yang penuh taburan bunga, kini hanya dikelilingi beberapa orang saja, yang saling diam dan memandang ke satu arah dengan tatapan sendu dengan isi pikiran yang berbeda beda.

Hanya satu isak tangis dari seorang wanita berambut blonde, dengan topi lebar berwarna hitam, sapu tangannya kini telah cukup basah menyerap seluruh air mata yang tumpah dari awal pemakaman hingga saat ini.

Dia Adera Hardiatmaja, sibungsu dan satu satunya wanita anak dari Hardiatmaja.

Mata Adera menatap nanar nisan putih yang bertuliskan nama

Lima Ayudia Sutjipto.

Kakak perempuan  yang begitu peduli padanya. Yang selama ini selalu punya waktu untuknya. Kapanpun dan dimanapun ia butuh Lima, kakaknya itu seperti ibu peri yang langsung datang.

Disampingnya ada Wira yang sedang merangkul pundaknya. Adera tau Wira juga terpukul dengan kepergian Lima.

Meskipun mereka sudah tau sangat sulit bagi Lima untuk sembuh, tapi harapan agar Lima tetap hidup selalu ada dalam doa doa mereka.

MEMINJAM WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang