25. Segenggam Takdir

376 35 42
                                    

🌼 Happy Reading 🌼

.
.
.

Butiran air hujan di pagi hari memenuhi permukaan jendela kamar rumah sakit yang tampak begitu jelas. Dan hal itu menjadi pertanda bahwa semalam bentala tengah dihantam hujan deras. Sinar mentari terlihat menyelinap masuk ke dalam ruang rawat diantara bulir air hujan yang tampak bak embun pagi.

"Dia kenapa? Ngapain tuh anak liatin keluar jendela?"

"Gak tau, Bang. Gua juga gak ngerti."

"Samperin sana, Chan."

"Kok gua? Bang Hendra aja lah."

"Itu adek lo satu-satunya loh, Chan. Udah pergi sana samperin!"

Pasrah. Chandra akhirnya berjalan mendekati Julian yang tengah berdiri di depan kaca jendela ruang rawat sambil berpegangan pada tiang infus di sebelahnya.

"Julian."

Sang empunya sontak menoleh. Seulas senyum manis terukir di wajah tampan remaja yang kini telah berusia tujuh belas tahun itu. Menundukkan pandangannya sejenak dan kemudian kembali melirik Chandra yang hanya diam di sampingnya sambil ikut memandang ke luar jendela.

"Kenapa, Kak Chan?"

"Lu ngapain lihat ke luar? Lagi lihat apa, sih?"

"Nggak ada, Kak. Tapi nyaman aja gitu. Cuacanya bagus pagi ini walaupun semalam habis hujan."

"Suka sama hujan?" Julian menggeleng.

"Terus?"

"Aku lebih suka mentari senja daripada hujan, Kak. Karena senja itu hangat kayak mentari pagi, dan cerah juga."

"Tapi dua-duanya kan cuma berlangsung sebentar. Mentari pagi bakal berubah jadi terik di siang hari, dan mentari senja bakal berubah gelap karena udah malam."

Julian mengangguk membenarkan, ujung bibirnya ditarik sedikit hingga menghasilkan sebuah senyuman kecil. Chandra yang melihat itu memiringkan kepala bingung dengan ekspresi adiknya itu.

"Kenapa senyum? Yang gua bilang lucu?"

"Nggak, Kak. Tapi semuanya benar. Karena itu aku mengagumi keduanya, Kak. Walaupun maknanya banyak."

"Alasannya?"

"Sederhana aja, Kak."

"Apa itu?"

Itu bukan Chandra yang bertanya, melainkan Revan yang baru saja masuk bersama yang lain dengan beberapa bungkus makanan di tangannya. Julian dan Chandra lantas menoleh ke belakang usai mendengar pertanyaan itu.

"Gua juga penasaran, Dek," timpal Johan.

"Ayo duduk sini, sekalian sarapan," ajak Marvin pada Chandra dan Julian. Keduanya pun berpindah tempat dan duduk di sofa yang ada di ruang rawat tersebut.

"Jadi, apa yang sederhana, Ian?" tanya Noval penasaran.

"Soal mentari pagi dan senja," ujar Chandra menambahkan.

Julian lantas tersenyum kecil, "Aku gak tau orang lain menilai dua hal itu kayak apa, tapi selama ini aku berpikiran gini. Mentari pagi dan senja itu singkat, hanya berlangsung beberapa jam kalau kita hitung. Bagiku, itu sama aja dengan kehidupan di dunia ini. Rasanya memang lama, berpuluh tahun kita lalui tapi nyatanya itu hanya sekejap mata." Semua orang terdiam mendengarkan penjelasan Julian.

"Mentari pagi memang sebentar dan nantinya bisa jadi berubah terik atau bisa saja berganti dengan hujan, gak ada yang tau apa yang bakal terjadi setelah pagi yang cerah berlalu. Kehidupan pun begitu, kita gak ada yang tau apa yang terjadi dalam beberapa saat kemudian."

Maaf Dari Julian - Park Jisung [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang