13. Rasa yang Tertinggal

364 51 305
                                    

🌼Happy Reading🌼

Suasana di ruang rawat Hendra mulai sepi, karena Dewi - kekasih Hendra - sudah pergi dari tempat itu. Wanita itu harus bekerja di cafe seperti biasa. Dan kini tinggallah Julian, Jaya dan Dimas - sopir pribadi Julian - yang masih berada di ruangan tersebut.

"Julian, yuk pulang. Besok kita sekolah loh."

Julian hanya diam dan tak berkutik sedikitpun, dirinya masih saja memandangi wajah pucat Hendra yang masih koma. Tangannya sesekali terjulur untuk mengusap surai hitam sang kakak yang masih setia berbaring di atas ranjang rumah sakit. Julian merasa enggan untuk pergi dari sana dan meninggalkan Hendra, namun di sisi lain, dia juga masih harus melaksanakan kewajiban sebagai seorang siswa. Julian tidak ingin mengecewakan Hendra nantinya jika dia tau kalau adik bungsunya tidak sekolah.

Dengan berat hati, Julian bangkit dari kursi yang ada di sebelah ranjang yang ditempati Hendra, kemudian mulai membereskan barang-barang yang ia bawa kemarin ke rumah sakit. Beberapa menit berlalu, akhirnya Julian selesai mengemasi semua barang-barangnya. Sekali lagi, ditatapnya Hendra sebelum benar-benar pergi dari ruang rawat itu. Sebuah kecupan lembut Julian berikan di kening Hendra yang ditutupi perban.

"Bang Mahe, Ian pulang dulu ya. Besok pulang sekolah Ian bakal ke sini lagi dan temenin Abang. Untuk sekarang Abang sama Bang Dimas dulu ya."

Pandangan Julian pun beralih pada Dimas yang sedari tadi sudah berada di ruangan tersebut. Seulas senyum kecil terpampang di wajah Dimas kala dirinya melihat raut wajah sedih Julian.

"Bang Dimas, tolong jagain Bang Hendra ya. Kalau ada apa-apa soal Bang Mahe tolong hubungi aku secepatnya. Aku titip Bang Mahe sama Abang ya, besok aku bakal ke sini habis dari sekolah," pinta Julian lirih pada Dimas.

"Iya Dek Julian, Abang pasti jagain Hendra kok. Kamu tenang aja dan belajar yang rajin ya, berdoa terus buat kesembuhan Hendra," ucap Dimas sambil menepuk ringan pundak Julian seraya tersenyum kecil.

Julian pun keluar dari ruangan tersebut dengan raut wajah sedih dan pasrah. Hatinya masih berat untuk pergi, namun dirinya juga tak ingin keras sendiri dengan keadaan. Sebelum pulang ke rumahnya, Julian mengantarkan Jaya terlebih dahulu ke rumahnya yang diantarkan oleh Bang Mamat. Tidak ada pembicaraan selama perjalanan ke rumah Jaya, karena Julian membungkam mulutnya rapat-rapat seolah enggan untuk berbicara barang sedikitpun.

"Julian," panggil Jaya.

"Hmm?"

"Lu gak apa-apa? Aman kan?"

"Iya, aman kok," jawab Julian datar.

"Bang Hendra bakal bangun kok Yan, Insyaallah. Lu jangan pesimis ya, berdoa terus sama Allah. Gua juga doain Bang Hendra kok, Yan."

"Makasih Jaya, makasih banget. Tapi bukan itu masalahnya sekarang. Gua tiba-tiba kepikiran hari kecelakaan kemarin aja."

"Apanya?"

"Orang itu."

Jaya terdiam sejenak. Otaknya tiba-tiba mencoba mengingat orang yang di maksud Julian. Orang yang sama yang dilihatnya di hari kecelakaan, dan tentu saja hal itu membuat mereka berdua bertanya-tanya, siapa orang itu.

"Untuk sekarang gak usah pikirin 'orang itu' Julian. Lebih baik lu fokus sama diri lu dan Bang Hendra. Itu lebih penting sekarang, soal hari kecelakaan nanti kita bicarakan lagi di lain waktu."

"Emang bener yang lu bilang, Jaya. Tapi rasanya aneh aja gitu, perasaan gua jadi gak enak sejak hari itu."

"Sudah sampai, Dek."

Maaf Dari Julian - Park Jisung [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang