“Enggak ah, aku udah nyaman disini.”
Dia masih dengan posisi memelukku. Erat banget lagi meluknya, hampir gak bisa napas.
“Sudah pokoknya besok setelah pulang ngampus kita pindah, titik. Aku yang akan carikan, Kakak tenang saja.”
“Ya sudah terserah kamu saja. Yang penting aku terima beres, dan kamu yang bayar.”
“Iya, Kakak tenang saja.”
“Kak, aku mau tiduran dipangkuan Kakak boleh ya?”
“Ah kamu banyak maunya, Bar. Aku lagi sibuk nih sama tugas kamu.”
“Sebentar saja Kak, ya kak? Please!”
Mau tidak mau aku turuti permintaannya, soalnya dia yang bakal bayar kosan baru nanti. Aku sudah tebak, pasti dia bakal sewa kos yang mahal itu. Karena lebih dekat dengan kampus dan lebih bagus juga, dan lebih lagi dia kan memang gak biasa tinggal ditempat yang kayak begini. Ya, namanya juga horang kaya. Buktinya Papanya punya perusahaan kan.
Aku mengubah posisi duduk ku menjadi selonjoran diatas kasur. Dan posisi kepalanya berada di pahaku. Haduu kenapa jadi deg degan begini ya.
“Kak, elus kepalaku dong.” Pintanya.
“Aku masih dalam proses buat daftar pustaka, Bar.”
“Yang satunya saja, Kak tangannya.”
“Iya bawel.” Tuturku sambil mengelus rambutnya.
“Nah kalau brgini kan enak.” Ucapnya sambil cengengesan.
“Aku dengar ketawamu lho, Bar.”
“Iya iya maaf. Kakak kenapa gak buka kerudung Kaka? Kan ini di dalam kamar kita.” Kita-kita, aku aja kali kamu enggak. Eh.
“Kan ada kamu sekarang.”
“Kan aku juga sudah jadi Suami Kakak.”
Bagaimana ya, aku masih belum terbiasa dilihat orang dalam kondisi tak berkerudung. Tapi memang benar sih, dia kan sudah jadi Suamiku. Kenapa juga masih harus menutupi aurat ku ya? Ah entahlah, aku canggung.
“Buka dong Kak kerudungnya. Aku mau lihat.”
“Enggak.”
“Ayo dong, kak. Please!”
“Enggak. Enggak. Enggak.”
“Kakak mau berdosa? Karena gak mau turuti permintaan suami.”
“Kamu sekarang berani ngancam aku ya.”
“Aku kan Suami Kakak sekarang. Memang salah ya?”
Aku menghela napas panjang. Abis dia minta aku buat buka kerudung, terus nanti apa lagi? Ah capek.
“Iya, maaf. Aku masih gak nyangka soalnya kalau sekarang sudah punya Suami.”
“Maaf, kak. Aku yang minta maaf seharusnya. Gara-gara aku maksa buat masuk ke kamar kos ini, kita jadi dinikahin sama Pak Ustadz disini.”
“Sudahlah, Bar. Semua sudah terjadi. Gak ada yang perlu disesali lagi.” Ucap Ana.
“Oke, aku bakal buka kerudungnya. Tapi aku buka di kamar mandi.” Lagi, Ana berucap.
“Beneran?” Tanya Bara meyakinkan.
“Iya.”
“Yes.”
“Kenapa sih? Senang banget kayaknya.”
“Ah, enggak. Sudah sana buruan, katanya mau buka kerudungnya?”
“Iya.” Tuturku sambil melangkahkan kaki kedalam kamar mandi.
Kebetulan dikorslet aku ada cermin, bisa lah sambil sisiran. Hahay, eh tapi, dia bakal suka gak ya? Sama warna rambutku. Dua hari yang lalu aku sempat pergi ke salon buat warna-in rambut plus buat rambutku jadi agak bergelombang. Bosan juga kalau lagi berkaca terus lihat warna rambutku yang gitu-gitu aja.
Aku warna-in rambutku jadi warna auburn brown. Ternyata bagus juga. Tapi kalau dia gak suka biarlah. Toh juga aku warna-in rambutku karena buat menyenangkan aku sendiri. Bukan buat dilihat orang lain. Karena memang sehari-hari kalau keluar rumah, aku selalu menggunakan hijab.
Ceklek
Aku membuka knop pintu kamar mandi. Ku intip dari sini, Bara sedang terfokus pada laptopnya. Mungkin dia sedang melihat hasil kerjaku tadi, pelan-pelan ku langkahkan kakiku ke arahnya. Gak pengin dia tahu kalau aku sudah keluar dari dalam kamar mandi. Eh, Akhirnya ketahuan juga nantinya.
“Kak?”
“Hm.”
“Itu, Kakak kan?”
“Hm.” Jawabku dalam gumaman.
Sejujurnya aku jadi canggung begini, sengaja ku jawab hanya gumaman. Karena sudah deg degan duluan. Duh.
“Kakak jawabnya jangan ham hem ham hem begitu dong.”
“Iya! It's me! Kenapa? Gak suka?”
“Eh, enggak enggak. Aku suka.”
“Ya sudah minggir, aku mau tidur.”
“Jangan tidur dulu dong.”
“Terus ngapain? Kan aku sudah turuti permintaanmu.”
“Aku mau cium rambut Kakak, boleh ya?”
“Enggak.”
“Ah Kakak gak asik.”
“Biarin, wle.”
Baru aku mau menarik selimut, tapi dia sudah duluan masuk ke dalam selimut. Dia ngerti gak sih? Aku belum siap jadi Istri. Ah sebal!
“Taruh dulu laptopnya.”
“Iya iya.”
Sesaat kemudian, dia sudah menaruh laptopnya dimeja belajarku. Dengan langkah seperti orang yang sedang dikejar setan. Dia menghamburkan ke atas tempat tidur. Dengan cepat dia menyentuh rambutku dan menciumnya. Aneh, rambut saja pakai dicium segala.
“Wangi blueberry, kok bisa sih Kak?”
“Ya bisalah, kan aku habis ke salon.”
“Kapan? Aku gak lihat.”
“Sebelum ketemu kamu.”
“Oh.”
Kasur empuk dan sempit hanya ada satu bantal dan satu bantal guling. Dengan kedempet-dempet aku berbagi ranjang dengannya. Kalau seandainya Ibu kos gak gerebek aku tadi, gak bakal aku tidur kesempitan begini. Berbagi bantal dan tempat tidur yang ukurannya hanya muat untuk satu orang. Bayangkan jika tempat tidur itu diisi dengan aku dan juga Bara, entahlah bagaimana jadinya.
Haih!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinikahi Bocil
RomancePernikahan yang terjadi setelah adanya penggerebekan di dalam kosan.