2. Taufan

1.1K 125 1
                                    

Taufan tampaknya bukan orang yang serius―

Hari Senin ... dan kau hampir terlambat sekolah.

Mengapa? Karena hari Senin adalah hari yang paling dibenci olehmu.

"Uwaaa! Aku terlambat!!"

Gempa, yang sedang memasak di dapur, melihatmu berlari tergopoh-gopoh menuruni tangga segera menegur, "[Name], jangan berlarian di tangga!"

"Maaf, Kak Gempa!"

Kau melihat ke sekitar rumah dengan bingung. "Kak, mana Thorn dan Solar?"

"Oh? Mereka udah berangkat duluan."

"Hee? Teganya aku ditinggal!"

Dengan tergesa-gesa, kau memakai sepatumu, sebelum tiba-tiba seseorang berdiri di depanmu menghalangi pintu. Kau menengadah, mendapati sosok kakak keduamu, Taufan berdiri dengan seringai tersungging di bibirnya.

" ... Kak Taufan?"

Taufan mengambil kunci motor di rak dan memutar lubang kait di jarinya. "Ayo, aku antar!"

Kau tersenyum sumringah mendengarnya. Segera kau memakai helm dan mengambil tempat di jok belakang diikuti Taufan duduk di depanmu. Motor gede dinyalakan dan hendak melaju sebelum di hentikan oleh seseorang.

"Tunggu! Jangan lupakan bekal kalian!" Gempa datang dan menyerahkan dua kotak bekal dengan warna berbeda. Kau mengambil kotak bekal berwarna [color], menyimpannya di ranselmu, kemudian melambai pada sang kakak ketiga.

"Kami berangkat, Kak Gempa! Assalamualaikum!"

"Wa'alaikumussalam. Ya, belajarlah dengan baik. Taufan, menyetirlah dengan hati-hati."

"Aku tau." Taufan yang dipanggil pun menanggapi dengan santai. Ia menarik gas dan motor meluncur keluar dari halaman rumah.

Sepanjang perjalanan, kau sesekali melihat waktu di jam tangan. Rasa cemas terlukis di wajahmu yang terlihat jelas di kaca spion.

"Mau ngebut?" Taufan bertanya. Kau yang mendengarnya menggeleng pelan. "Tidak perlu, Kak. Lebih baik terlambat daripada tidak datang sama sekali."

Taufan justru tertawa, "Hahaha! Senin begini memang sangat menyebalkan, ya?"

"Ya! Kenapa harus ada hari Senin sih di dunia ini?!" balasmu kesal.

"Sudah dari sananya dinamakan 'Senin'. Kalau Senin berganti nama, kamu tidak akan menyalahkan 'Senin', melainkan nama baru 'Senin'," jelas Taufan.

Kau terdiam sejenak, berusaha mencerna maksud perkataan kakak keduamu. Setelah memahaminya, kau menghela nafas pasrah. "Kalau begitu, tiadakan saja hari Minggu."

"Yah, gak ada hari libur, dong."

"Terus maunya gimana?!"

Taufan hanya bisa tertawa mendengarmu yang menjadi lebih kesal. Ia ingin menjawab, sayangnya suara dering ponsel menyela perhatiannya.

"Ah, [Name], bisa ambilkan ponselku? Lihat siapa yang menelpon."

Kau membuka ransel di punggung Taufan dan hendak menggapai ponsel yang tersimpan jauh di dalam.

Namun―

BRAAAKK!!

Sebelum kau bisa menyadari apa yang terjadi, Taufan tiba-tiba berbalik dan memelukmu dengan erat.

Kepalamu terbentur keras, kemudian semuanya menjadi gelap.

.

.

.

Dalam keheningan yang panjang, samar-samar kau mendengar suara seseorang yang terus memanggilmu.

"[Name]! Sadar ... ! Jan ... ku ... takut!!!"

Pandanganmu buram, namun kau masih bisa melihat warna biru yang selalu dikenakan oleh kakak keduamu itu.

Kau juga bisa merasakan basah di kulit wajahmu.

Kau ingin meraih tangan kakakmu, tetapi tubuhmu terasa berat. Bahkan bernafas pun susah. Kau hanya bisa mengeluarkan dengungan kacau dari bibirmu.

"Kak ... Jangan ... menangis ...."

―tapi dia akan menangis jika sesuatu terjadi padamu.

•••

Fakta Taufan:
Anak kedua; selisih 6 bulan dari Halilintar dan Gempa, 2½ tahun dari Blaze, 3 tahun dari Ice, dan 4 tahun dari Thorn, Solar, dan [Name].

My Dear Brothers || F/M! ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang