19. Bengkel (part 1)

341 56 6
                                    

Note: POV ketiga
•••

"Gempa~~"

Saudara tertua ketiga yang dipanggil pun mengabaikan panggilan itu, melanjutkan kegiatannya memetik daun kangkung dari tangkainya. Jika nada Taufan sudah seperti ini, pasti ada sesuatu yang diinginkan, batinnya dengan lelah.

"Aish, Gem, jangan abaikan aku~"

Gempa masih menghiraukannya.

"Gempa sayang~ Senyum dikit dong~

"Gem~ Mau permen? Nih aku punya banyak!

"Lihat! Ada alien jatuh dari langit!

"Ah~ Gempa, yamete kudasai~"

... Malah tambah menjadi-jadi.

"Haaah ... Ada apa?" Akhirnya, mau tidak mau Gempa menanggapi saudaranya yang beda enam bulan itu.

"Ehe! Temenin aku ambil motor dong!" Dengan seringai jahil, Taufan mengutarakan keinginannya.

"Yang lainnya emang nggak bisa, ya?"

"Entah, pada nggak mau semua!"

Jika itu Halilintar ... bukan hal yang mengejutkan lagi menolak keinginan Taufan; Blaze saat ini sedang main basket dengan Fang di lapangan komplek; Ice pasti terlalu malas keluar rumah; Thorn sedang mengurus tanaman di kebun belakang; Solar ... biasanya saudara yang satu ini menolak dengan alasan "belajar"; dan [Name] tidak diizinkan naik motor olehnya setelah kecelakaan.

Singkatnya, memang hanya Gempa seorang yang bisa menemani Taufan sekarang.

Selepas kecelakaan tempo hari yang mengakibatkan [Name] dirawat di rumah sakit, motor gede Taufan yang rusak hendak dibuang oleh Halilintar. Tapi, tipikal Taufan yang terlalu sayang pada barang-barangnya, ia enggan membuang motor yang dibeli dengan uang jerih payahnya sendiri. Pada akhirnya, motor rusak itu berhasil selamat dari tangan maut Halilintar dan dibawa ke bengkel untuk diperbaiki.

Gempa menghela napas panjang setelah memikirkan semua ini.

"Oke, aku ikut."

Senyum bahagia terukir jelas di wajah Taufan. "Beneran?! Yippie!!"

"Tapi, tunggu aku selesai memasak."

" ... "

Supaya cepat selesai, Taufan pun turut membantu Gempa memasak.

.

.

.

Mobil Hatchback warna cokelat milik Gempa melaju di jalan raya.

"Sumpah deh, Gem. Tanganmu nggak kram masak terus?" keluh Taufan seraya memijat jari-jari tangan kanannya. Ia membantu Gempa memetik  kangkung, mengupas bawang, dan mengaduk kuah santan hingga tangannya terasa pegal. Sungguh luar biasa―saudaranya yang kini berperan sebagai 'ibu' dari ketujuh bersaudara benar-benar mampu menanggung semua pekerjaan melelahkan ini, padahal masih banyak tumpukan tugas kuliah menunggu untuk diselesaikan.

Taufan memberikan rasa hormatnya pada kaum emak-emak dapur.

"Kalo aku sih udah biasa. Kamu itu yang―cuma bisa masak mie instan sama telur ceplok―harus belajar masak hal lain," celetuk Gempa tanpa basa-basi.

"Idih, aku juga bisa masak yang lain!" Taufan tidak ingin harga dirinya direndahkan, jadi tanpa berpikir ia membalas perkataan saudaranya itu.

"Masak apa?"

"Tempe dan tahu goreng." Dengan bangga, si sulung kedua membusungkan dadanya, seolah-olah apa yang ia katakan adalah hal paling mulia.

Gempa hanya bisa geleng-geleng kepala. Bahkan saudaranya yang paling bego―Thorn―bisa memasak sayur capcai yang jauh lebih 'waw' daripada tempe-tahu goreng.

Tapi Gempa tidak bisa mengatakannya. Ia bisa menebak; Taufan pasti akan mengajak satu keluarga untuk lomba memasak supaya bisa memastikan siapa yang paling jago masak. Dan ketika itu terjadi, siap-siap saja dapur seperti kapal pecah. Gempa tidak ingin melihat dapur tercintanya hancur lagi untuk kesekian kalinya.

Sudah cukup dengan Blaze yang meledakkan kompor terakhir kali ....

"Ngomongin soal masak, aku baru saja ingat." Gempa menepuk dahinya, bertindak seakan-akan ia benar-benar melupakan masalah ini. "Ayah ingin kita berkumpul di rumah."

Senyum Taufan menjadi kaku.

Tanpa menoleh, Gempa tahu seperti apa ekspresi saudaranya saat ini. Namun, ia tetap melanjutkan, "Katanya, sudah lama nggak ketemu. Ibu akan memasak semua makanan favorit kita dan―"

"Dan kita tidak bisa menolak, 'kan?" potong Taufan yang sangat tepat sasaran.

Gempa tidak menjawab, tetapi kependiamannya secara tak langsung menjawab pertanyaan Taufan.

"Nggak biasanya ayah mengundang kita datang. Ada apa nih?" Dari kaca spion, sangat jelas senyuman masih terukir di bibir Taufan. Tapi Gempa tahu, senyuman itu tidak mencapai matanya―itu hanyalah senyum palsu.

Gempa berkata nyaris berbisik, "Perayaan ulang tahun Atok."

Pandangan Taufan tampak linglung sejenak, sebelum akhirnya ia mengeluarkan dengungan tidak jelas. "Uhm ...."

Kemudian, suasana mobil menjadi sepi. Gempa fokus menyetir sementara pikiran Taufan melayang entah ke mana.

Entah berapa lama kesunyian berlanjut, hingga suara si sulung kedua terdengar. "Apa yang lain tau?"

Gempa masih tidak menjawab. Sampai mereka tiba di tempat tujuan, saudara tertua ketiga pun membuka mulutnya.

"Tanyakan pada Halilintar."

•••
Fakta delapan bersaudara:
Di rumah, yang bisa memasak―jika diurutkan dari yang paling mahir―adalah Gempa, Solar, Halilintar, dan Thorn; sisanya hanya tukang perusak dapur dan tukang makan saja.

.

.

Arbi's Note:
Aku rencana mau update tadi malam, tapi entah mengapa gagal di publish(・_・;) Katanya ada masalah server atau apalah itu ಠ_ಠ

My Dear Brothers || F/M! ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang