8. Pulang

692 93 1
                                    

Kau mengepak barang-barangmu ke dalam tas. Setidaknya, jangan sampai kau meninggalkan buku-buku komik kesayangan Taufan, atau jika tidak ia akan merajuk karenanya.

"Sudah semua?" Halilintar yang kini menjagamu. Gempa harus kembali ke kampus setelah dihubungi oleh dosennya, jadi ia berakhir menggantikan posisi sang kakak rumah tangga(?).

Kau memandang sekeliling dan mengangguk setelah yakin bahwa tidak ada yang tertinggal. Halilintar menutup resleting tas, mengangkatnya di bahu, dan berlalu pergi ke pintu. "Ayo."

"Um!" Kau mengikuti di belakangnya.

Di halaman parkir, berdiri Taufan yang bersandar pada mobil Ferrari merah yang tampak sangat tidak cocok dengan lingkungan rumah sakit.

Kau mengenali mobil mewah itu milik kakak tertuamu.

Halilintar menekan remote kunci mobil, membuat mobil mengeluarkan bunyi yang mengejutkan Taufan. "Eh, anjir! Kaget aku!"

Halilintar menendang kaki adiknya. "Menyingkir. Kau mengotori mobilku."

"Hei, ayolah!" Taufan membuka kedua tangannya tidak terima. "Motorku rusak karena kecelakaan itu! Masa nebeng saudara gak boleh?!"

"Pergi beli yang baru."

"Kamu pikir uangnya dapat darimana, ogeb!?"

"Pakai tabunganmu."

Taufan pundung di dekat kakimu. "Padahal tabungan itu buat beli komik Satu Potong* volume terbaru ...."

*Arbi: maksudnya One Piece :v

Kau hanya bisa membantu menepuk bahu kakak keduamu dengan perasaan 'turut berdukacita'.

"[Name]!" Taufan bersimpuh seraya memegang erat kedua kakimu. "Bantulah kakakmu yang terjintah ini!"

"Najis."

Savage!

Taufan memegang dadanya seakan-akan tertusuk oleh panah kejam yang kau tembakkan.

Kau melepas pegangan tangan kakakmu dan melengos pergi menyusul Halilintar yang telah menyimpan tas barang di bagasi mobil. Mobil dihidupkan bersamaan denganmu yang duduk di kursi penumpang depan.

"Hei! Tunggu aku!"

.

.

.

Mobil melaju dengan tenang di jalan raya.

Taufan sesekali mengintip ke arahmu melalui kaca spion depan. Kau yang menyadarinya pun bertanya, "Kenapa, Kak?"

"Aku hanya ingin tau ... " Taufan mengambil jeda beberapa saat. " ... [Name], kamu gak PTSD gitu?"

"PTSD?"

"Gejala pasca trauma," timpal Halilintar dengan singkat, padat, dan jelas. Kau mengangguk mengerti dan menggeleng di saat berikutnya. "Kayaknya enggak."

"Fyuuuh~ Baguslah," ujar Taufan lega. "Kalau nggak, Gempa pasti bakal menguburku hidup-hidup."

Kau memahami ketakutannya pada Gempa. Orang sabar jika marah sangat mengerikan ... Kau pernah mengalaminya dulu dan berharap tidak akan pernah mengalaminya lagi.

Ketika mobil berhenti karena lampu merah, kau mengambil kesempatan untuk melihat chat group kelas di ponsel. Beberapa temanmu mengucapkan selamat atas keluarnya kau dari rumah sakit. Ketua kelas membahas tentang pelajaran yang tertinggal, dan wali kelas berharap agar dirimu segera melapor padanya ketika masuk sekolah.

Kau membalas setiap pesan dengan senyum terima kasih, namun―

" .... "

―Tenang, bukan kecelakaan lagi.

Hanya ... Halilintar yang menginjak pedal gas secara tiba-tiba, sehingga mobil melaju cepat dan membuat dirimu terbanting ke belakang.

"Eh? Eh? Kak Hali?" Kau bertanya gugup karena melihat ekspresi wajah Halilintar yang terlihat serius. Kau menoleh kebelakang, melihat Taufan yang sama seriusnya dengan sang kakak tertua.

Taufan menyadari kegugupanmu dan berkata dengan lembut, "Nggak papa, Hali cuma kebelet boker, jadi dia ngebut."

"Taufan, jaga mulutmu."

Taufan mengabaikan peringatan Halilintar dan sekali lagi menenangkanmu. "Yah, jika itu Hali yang nyetir, kita akan baik-baik saja."

Mobil melaju dengan cepat menuju komplek perumahan yang kau kenal. Rumah berlantai dua terpampang jelas di sana. Gerbang tinggi terbuka secara otomatis dan mobil Ferrari merah memasuki halaman.

Kau turun dari mobil. Samar-samar, dari ujung mata kau melihat sebuah mobil van hitam yang berhenti sesaat di depan gerbang sebelum pergi dengan cepat.

Kau merasa pernah melihat mobil itu sebelumnya, tapi tidak ingat di mana.

"Masuk, [Name]," panggil Halilintar memotong pikiranmu. Kau menarik kembali pandanganmu dan memasuki rumah, mengikuti di belakang kedua kakakmu.

Di ruang keluarga, duduk Blaze dan Thorn yang bermain dengan PSP mereka, Ice tidur di sofa kasur, dan Solar yang sedang belajar.

Melihat kepulangan kalian, mereka bertiga (minus Ice) bangkit dan datang mengerumunimu.

"[Name], selamat datang kembali!"

"Kita bisa berangkat sekolah bareng lagi!"

"Bersiaplah untuk mengisi otakmu dengan materi pelajaran yang tertinggal."

Kau hanya bisa tersenyum kaku mendengar sambutan yang Solar lontarkan. Kau berjalan ke arah Ice yang tampaknya masih tertidur. "Kak Ice, aku pulang."

Ice tidak menanggapi, tapi ia menarik tanganmu, membuatmu jatuh berbaring di sebelahnya.

"Tidur bareng ... " gumamnya tidak jelas.

Kau hanya bisa mengulas senyum tipis melihat kakakmu yang hobinya rebahan ini.

"[Name], aku bawa tasmu ke kamar!" seru Taufan dari lantai atas. Kau yang mendengarnya ingin membalas, tapi menyadari bahwa Ice akan terganggu karenanya.

Jadi, perlahan kau melepas tangan kakak kelimamu dan beranjak dari sofa kasur menuju lantai atas.

Di tengah jalan, kau bertemu dengan Gempa yang baru saja pulang dari kampus. Gempa yang melihatmu baik-baik saja segera memelukmu dengan rasa lega. "Oh, kamu pulang. Selamat datang kembali."

Kau membalas pelukan kakak ketigamu. "Terima kasih, Kak."

Ah, senang rasanya pulang dan disambut semua saudaramu.

•••

Fakta delapan bersaudara:
Masing-masing bersaudara memiliki warna mata yang berbeda. Halilintar - merah; Taufan - biru tua; Gempa - emas; Blaze - oranye; Ice - biru muda; Thorn - hijau; Solar - kuning; [Name] - [e/c].

My Dear Brothers || F/M! ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang