3. Gempa

912 116 5
                                    

Gempa memang terlihat seperti pemimpin yang sabar―

Ketika terbangun, kau langsung menyadari dirimu berada di rumah sakit. Ada selang infus yang tertanam di lengan kananmu serta perban yang melilit di kepalamu.

Rasanya kayak perawatan pasca kecelakaan di sinetron aja, batinmu setelah melihat kondisimu saat ini.

Kau memandang lingkungan sekitar. Tempatmu berada sekarang adalah bangsal tunggal, lengkap dengan kamar mandi dan dapur pribadi. Dari fasilitasnya saja, kau tahu bahwa ini adalah rumah sakit milik keluarga.

Tentu saja, mengapa harus dibawa ke rumah sakit lain kalau sudah memiliki rumah sakit sendiri?

Kau kembali memejamkan mata ketika rasa pusing melanda. Suara pintu yang terbuka terdengar, membuatmu reflek untuk melihat siapa yang datang.

Seorang pria berjas putih, memiliki stetoskop di lehernya, dan map plastik di tangannya ... alias dokter.

Dan dokter yang sangat kau kenali.

Ia tidak terlihat terkejut melihatmu sadar, hanya datang untuk melakukan pengecekan sederhana.

"Um, Dokter ... Uhuk uhuk!" Suaramu serak dan kau terbatuk karenanya, berpikir sudah berapa lama kau tak sadarkan diri.

Dokter menyerahkan segelas air. Seakan memahami kebingunganmu, ia menjawab, "Sudah satu setengah hari berlalu. Ck ck ck, kamu ini suka membuat orang lain khawatir saja."

Kau hanya bisa tersenyum malu.

"Dok, aku bisa pergi jalan-jalan, 'kan?"

"Hm," sahut dokter seraya menulis di lembar catatan dalam map. "Yang terluka adalah kepalamu, bukan kakimu."

"Aku tahu itu." Kalau tidak, mengapa yang diperban adalah kepala dan bukannya kaki?

"Tapi jangan dipaksakan," lanjut dokter dan mengakhiri pengecekannya. "Bagaimanapun, gegar otak ringan bukan sesuatu yang bisa disepelekan."

"Aku mengerti. Terima kasih Dok ... " Kau terdiam sejenak sebelum memutuskan untuk mengubah nama panggilan. "Paman Glacier."

Glacier hanya mendengus ringan dan melenggang pergi dari bangsal.

Kau perlahan turun dari ranjang tidur, memindahkan kantung cairan infus ke tiang yang bisa digerakkan, kemudian berjalan lambat ke pintu.

Angin dari luar segera menyambutmu begitu pintu terbuka. Setelah menutup pintu, kau berjalan di sepanjang dinding koridor sambil menikmati pemandangan di luar bangunan.

Namun di pertigaan koridor, kau mendengar suara yang akrab.

" ... Kak Gempa?" gumammu dan diam-diam berjalan mendekat. Perlahan, semakin jelas suara Gempa dari balik dinding.

Kau sedikit mengintip, mendapati bukan hanya Gempa di sana, hadir juga Halilintar dan Taufan yang memiliki beberapa luka gores di wajahnya.

"Bukannya sudah kubilang?! Hati-hati saat menyetir!! Hati-hati! Kamu paham nggak sih apa artinya 'hati-hati'?! Haruskah aku melemparimu kamus bahasa untuk memahami arti 'hati-hati'?!" Walau kau tak bisa melihat ekspresi Gempa karena sosoknya membelakangimu, tapi dari nadanya saja, kau tahu kalau dia sangat marah dengan kejadian ini.

"Cukup, Gempa." Halilintar memotongnya. "Kita sudah mendapat kejelasan. Yang salah adalah pengemudi truk itu, bukan Taufan."

"Tapi tetap saja ... " Gempa mengusap wajahnya kasar. Ia menatap kakaknya yang lebih tua enam bulan itu dengan dahi berkerut. " ... Aku tetap marah padamu, Taufan."

"Aku tau," Taufan mengakuinya. "Aku juga memiliki andil dalam hal ini. Tapi ... setidaknya [Name] selamat."

Mendengar namamu disebut, Gempa menghela nafas lega. "Yah, beruntung kamu bertindak cepat ... Atau aku pastikan akan menguburmu di tanah, Taufan."

Taufan hanya tertawa kikuk mendengar kekejaman dari adiknya itu. "Haha, lelucon yang bagus. Sayang sekali, truk-kun tidak berhasil mengirim kami berdua ke isekai ...."

"Taufan!"

Pemuda bertopi biru itu menghindari pukulan penuh cinta dari saudaranya dengan senyum jahil seperti biasa. Ia mengangkat matanya dan bertemu pandang denganmu secara tidak sengaja. "Eh? [Name], kamu 'dah sadar?!"

Sontak Gempa dan Halilintar menoleh, mendapati dirimu yang mengintip mereka bertiga dari balik dinding.

Kau melambai kaku karena tiba-tiba ditatap oleh tiga pasang mata berbeda warna. "Ah, selamat siang, kakak-kakak sekalian."

Grep!

Gempa langsung memelukmu erat. "Syukurlah, kamu bangun. Aku sangat lega."

Kau tersenyum dan membalas pelukan kakak ketigamu. "Maaf membuatmu khawatir, Kak."

Kau mengangkat kepala dan mengangguk pada Halilintar yang hanya berdiri tak jauh darimu, sebelum beralih pada Taufan yang terdiam di tempatnya tanpa mendekat.

Perlahan kau melepas pelukan Gempa dan mengulurkan tanganmu pada kakak keduamu. "Kak Taufan, aku baik-baik saja."

Air mata tergenang di pelupuk matanya, namun Taufan berhasil mencegahnya untuk tidak menetes. Ia berjalan mendekat dan memelukmu untuk memastikan kondisimu sungguh baik-baik saja.

"Terima kasih, Kak Taufan."

―tapi dia akan marah jika terkait denganmu.

•••

Fakta Gempa:
Anak ketiga; selisih 1 tahun dari Halilintar, 6 bulan dari Taufan, 2 tahun dari Blaze, 2½ tahun dari Ice, dan 3½ tahun dari Thorn, Solar, dan [Name].

My Dear Brothers || F/M! ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang