“Ini kisah kita bukan novel fiksi yang sering kamu baca. Tentang kematian yang dijadikan persembunyian."
***
Kara masih membeku dikala Abdil justru dengan erat memeluk sosok yang sangat Kara cintai, Dea. Ya, Kara masih tidak percaya jika semua bisa terjadi bahkan di luar nalar seperti ini. Entah Kara harus bahagia atau justru kecewa dengan kenyataan yang saat ini dia lihat.
Bahkan, kakinya terus melangkah mundur bersama air mata yang menumpuk di pelupuk. Miris, Abdil baru menyadari bahwa Kara sama sekali tidak bersuara membuat dirinya menguraikan pelukkan lantas berbalik badan.
Abdil kembali memandang... Dea yang kini masih menangis. "Kamu bisa jelasin kenapa ini terjadi?" Air mata Abdil juga ikut turun. Dia juga terkejut namun rasa kerinduannya yang teramat besar pada Dea membuat dia tanpa basa-basi memeluknya tak peduli jika itu asli atau justru tipu daya.
Yang ditanya hanya menunduk sejalan dengan kedatangan semua orang yang begitu riuh bertanya 'apa maksudnya?' Miris semua membuka mulut serta mata lebar-lebar ketika melihat tiga orang yang kini berderai. Terutama Luna dan Keno serta Arjas dan Risna.
Semuanya malah mengira bahwa ini mimpi. Mana bisa Dea yang telah pergi malah berdiri di depan mata mereka sendiri. "Ini apa maksudnya?!" Keno berteriak membuat Dea, Abdil dan Kara menoleh. Ketiganya menangis membuat orang tua mereka menggeleng lirih ketika dengan jelas melihat wajah Dea.
"D—ea." Arjas yang tak sesehat dulu hanya mampu memanggilnya lirih dengan tubuh yang bergetar hebat dan mungkin jika asistennya tidak sigap Arjas sudah terjatuh.
"Gak mungkin, kan?" Luna membekap mulut terkejut dengan tubuh yang melemas membuat Keno dengan sigap memeluknya.
"Ini maksudnya apa?!" Risna berteriak histeris dengan air mata yang tak terbendung.
Dea sesenggukan ketika melihat semua orang yang dia sayangi ada dan menangis. "Maafin aku!" Dea membuka suara membuat Kara menoleh. Siapa sangka, Kara yang mencintainya dengan tulus justru malah melontarkan tatapan tajam padanya.
Kara bahkan menunjuk wajahnya tajam membuat Abdil serta Dea menatapnya tidak percaya. "Kamu pikir kematian adalah permainan?!" teriak Kara murka membuat semua orang tidak percaya. "Jika ini benar kamu Deandra Briana yang aku kenal dan aku cintai, kamu sungguh... orang yang benar-benar keji!" murka Kara seraya membanting selembar fotonya dengan Dea.
Dea membeku dan menatap Kara. "Aku bisa jelasin semuanya Kara!" Dea memohon dan mengejar Kara yang melenggang dengan amarah memuncak. Sungguh, ketulusannya selama ini Dea anggap apa? Mengapa dengan teganya Dea membuat dia menderita.
"Aku punya alasan kenapa melakukan ini Kara!" Dea menarik tangan Kara yang sang empu tepis begitu kasar.
Kara menunjuk wajahnya tajam bersama tatapan yang benar-benar penuh kebencian. "Ya. Alasan itu pasti ada dan beribu-ribu alasan itu bisa dibuat!" Kara benar-benar terluka ketika apa yang dia lihat malam ini benar-benar kenyataan yang sangat di luar logikanya.
Spontan Dea membisu, tubuhnya melemas dan membiarkan Kara pergi. Dea menunduk dengan isak tangis yang pilu, dia menoleh kala mendengar isak tangis Luna dan Risna serta Arjas. Dengan langkah yang pelan Dea menghampiri mereka. Apa kalian menyangka respon mereka apa? Mereka justru sama seperti Kara. Ketika Dea akan memeluk, mereka malah menggeleng sebagai penolakan lantas meninggalkan Dea begitu saja.
Dea membisu ketika semua orang meninggalkan dirinya. Bahkan Randy dan Redio menggeleng lirih ke arahnya dan ikut melenggang. Tersisa Abdil yang dia harapkan bisa mendengarkan alasannya. "Abdil!" Dea akan menjelaskan semuanya pada Abdil namun laki-laki itu justru memberikan isyarat untuk dia berhenti berbicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] 2. Tentang Kara & Si Gadis
Romance[FOLLOW DULU SEBELUM BACA!] Di sini kisah tentang Kara yang kini hidup tanpa Dea. Kisah tentang Kara yang kembali menjadi laki-laki kaku dan keras bagai batu. Kisah tentang Kara yang mati rasa, dan tidak ingin jatuh cinta kembali. Kisah tentang Kar...