||25|| Tangisan Semesta

94 11 0
                                    

"Meski tercabik-cabik, tersenyum adalah alibi terbaik."

Kara Jaya Putra_

***

Kara menguraikan dekapan terakhirnya untuk Dea. Menyandarkan tubuh tak bernyawa kekasihnya dan mengusap lembut air mata yang masih tersisa di pipi tirus Dea. Tak kalah menyedihkan, air matanya pun ikut luruh namun senyumnya tak pudar.

Di sela itu Kara terus memperhatikan wajah teduh kekasihnya. "Terima kasih," bisik Kara tak sanggup lagi menahan isakan.

Kemudian, dengan telaten Kara meletakan kotak musik di antara paha Dea. Dia tersenyum kecut mendengar alunan melodi yang tenang dari kotak musik itu. Berusaha Kara menepikan perasaan hancurnya demi Dea yang mungkin kini tengah melihatnya lara.

"Sakit Dea. Aku sebenarnya hancur karena kamu pergi," batin Kara seraya mendorong kursi roda pelan.

Nahas, langkah Kara harus terhenti kala tangisan semesta perlahan turun. Dia mendongak saat malam berubah kelabu seakan gambaran hatinya saat ini. Alih-alih cepat masuk, Kara malah menunggu tangisan semesta itu deras dan mengguyur dirinya juga raga kekasihnya.

Tetapi, niat itu tak bisa Kara lakukan sebab Redio dan Randy juga Viola datang menghampirinya sembari menggeleng. Ketiganya iba melihat Kara yang hancur namun berusaha untuk menahan kesedihannya.

"Kita harus cepat bawa Dea, ya, Kar," ajak Randy di saat Viola terus memandang Dea yang sudah tak bernyawa.

"Biar Dea lebih tenang, Kar," tandas Redio tercekak.

"Ya—" Ketiganya spontan melempar tatapan mendengar jawaban Kara yang terdengar menyedihkan.

Meski begitu ketiganya sabar mengikuti Kara yang mendorong kursi roda secara pelan dengan alunan melodi yang tenang. Miris, kala sampai Kara sudah disambut manis oleh semua orang yang tadi menonton dirinya di taman. Mereka juga kali ini tidak menangis dan melakukan hal yang sama ... demi Kara.

Dokter Salman lebih dulu menghampiri dan melepaskan infus di tangan Dea tanpa sepatah Kata. Namun, matanya terus tertuju pada Kara yang kini tak beralih memperhatikan kegiatannya. Dokter Salman tahu semua orang yang ada di sini sebenarnya tengah hancur, namun berusaha tegar karena itu adalah permintaan Dea agar langkahnya ke dunia lain tidak berat.

Dokter Salman seketika mematung kala sadar ada kotak musik yang mengalun pelan di depannya. "Mas, aku boleh beli itu, 'kan?" Nahas, laki-laki dua puluh delapan tahun itu tidak dapat membendung air matanya. Dengan cekatan dokter Salman mengambil kotak musiknya dan dia matikan lalu dia berikan pada Kara yang senantiasa memperhatikan.

Seraya berdiri dia berkata, "Simpan dengan baik!" tutur dokter Salman yang Kara balas senyuman seraya menerimanya dengan tenang. Melihat itu malah membuat hati dokter Salman tercabik.

"Kami akan memandikan Dea terlebih dulu lalu menyolatkannya di mesjid rumah sakit," sambung dokter Salman yang mereka angguki. Setelah itu dokter Salman membopong Dea untuk dia tidurkan di brankar lalu menutup seluruh tubuh Dea dengan selimut putih khas rumah sakit.

Miris, saat itulah tangis semua orang pecah kecuali Kara yang berjalan pelan ke arah brankar dan membuka sedikit selimut lalu dengan perlahan Kara mencium kening Dea cukup lama dengan air mata yang jatuh tepat di pelupuk kekasihnya.

Setelahnya, Kara mengusap rambut Dea lembut seraya tersenyum. "Selamat jalan, Dea," gumamnya lara dan menjauh dari brankar lantas saat itu pula Dea dibawa dari hadapannya dan Kara hanya bisa memandang kepergian itu tanpa suara.

Lantas sekarang apa yang Kara lakukan? Anak itu malah tertawa hambar membuat semua orang tercengang. "Ngapain kalian semua nangis?" Pertanyaan konyol itu spontan keluar bersama gelak tawa yang terdengar menyakitkan.

[✔] 2. Tentang Kara & Si GadisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang