||23|| Apakah Berakhir?

106 10 0
                                    

"Aku hanya lembayung senja yang tidak pernah mengharapkan malam. Tapi, aku menyukai malam karena saat itulah aku melihatmu bersinar meski aku harus mengalah."


—Kara Jaya Putra_

***

"Hallo, Dil?" Kara membisu kala Redio kembali menerima telepon tak lain dari Abdil. Nahas, tatapan Redio juga sukses membuat Kara berderai. Entah sengaja atau tidak tapi Redio malah menambah volume teleponnya membuat Kara dengan jelas mendengar suara parau Abdil.

"Bisa tolong ke rumah sakit, Red? Semua orang udah ada sejak setengah jam lalu. Lo ngerti, 'kan maksudnya?" Mendengar ucapan itu Redio sekilas melirik Kara dan mengangguk.

"Gue ke sana sekarang." Redio seketika akan menutup sambungan tersebut, namun suara Abdil lebih dulu menghentikannya.

"Kalau bisa tolong bawa Kara ke sini—tapi kalau dia gak mau jangan dipaksa!" ujar Abdil sedu dari seberang sana, nahas membuat Redio seketika menatap Kara yang terus membisu.

Setelah itu tidak ada lagi percakapan antara keduanya. Hanya ada suara sambungan telepon terputus yang menjadi penghangat keheningan antara Redio dan Kara. Nyaris bulan yang tadi bersinar menghilangi tepat melewati tubuh Kara yang kini saling berhadapan dengan Redio.

Bulan itu seakan sirna kala malam ini Kara tidak mengharapkan kedatangannya. Miris, Redio pun belum membuka suara, lelaki itu malah fokus pada bulan yang perlahan menghilang.

"Terserah lo. Kami tidak akan melakukan pemaksaan." Akhirnya, setelah beberapa menit membisu Redio membuka suara meski terdengar penuh lara.

"Memangnya kehadiran gue sangat berarti untuk Dea?" Lantas, entah dari mana pertanyaan bodoh itu dan mengapa bisa terlontar begitu saja dari mulut Kara.

Nyaris Redio tertawa sebelum akhirnya dia sadar bahwa Kara tengah dirundung kekecewaan juga ego yang telah membutakan cinta dan hatinya. "Bukannya sepuluh bulan lalu secara tidak langsung pertanyaan itu terlontar dari mulut Om Arjas?" Redio menjeda ucapannya dan tersenyum kecut. "Dan apa jawaban lo terhadap beliau?" Lagi dan lagi Redio menjeda ucapannya untuk memberikan kesempatan pada Kara agar membuka suara dan menjawab pertanyaannya.

"Gak perlu dijawab Kar, simpan aja jawaban itu dalam hati lo!" kata Redio mengakhiri percakapannya, akh lebih tepat monolognya di depan Kara.

Kara tetap membisu bahkan dia senantiasa memperhatikan Redio yang kini membalikkan tubuh dan bersiap melenggang. Namun, lagi-lagi Kara bersua dan menghentikan langkah sahabatnya. "Apa Dea beneran akan pergi sekarang?" tanyanya lirih nyaris Redio membalikkan tubuhnya.

"Kami gak tahu, Kar. Karena kami tidak bisa menentukan antara kematian juga kehidupan sebab kami cuma manusia biasa. Oleh karena itu, kami berusaha agar nantinya tidak menyesal saat kematian itu tiba," jawab Redio lemah dan langsung beranjak dari hadapan Kara.

Saat itu pula gelora lara memekik di dalam kalbunya. Nyaris bersamaan dengan air mata yang luruh deras bak tak memiliki jeda. Cinta yang dulu ibarat bunga lembayung kini malah berubah menjadi sekuntum mawar layu, berduri juga tak abadi.

Raga yang dulu kokoh seketika roboh hanya karena kenyataan yang menyakitkan. Lantas apa kabar dengan ombak yang tidak pernah berhenti membantingkan diri sebab hukum alam yang menuntutnya.

Tangan yang dulu menarik dan mengulur seketika sirna seolah bulan malam ini yang telah sempurna tiada. Tangan yang dulu selalu merangkul juga memberikan secercah harapan lewat genggaman, apakah bisa tiada dalam sekejap mata?

[✔] 2. Tentang Kara & Si GadisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang