||19|| Mala Kalbu

116 11 0
                                    

"Torehkan bahagia pada selilit kain kasa."

***

Seketika semua berubah suram saat penyesalan kiat dalam dirasakan. Kali ini bukan tentang kasih sayang yang hilang melainkan kepercayaan. Mungkin jika kepercayaan kalian disia-siakan kalian pun akan sama marah dan kecewanya seperti Kara. Namun, kadangkala marah dan kecewa itu kian pudar karena cinta. Akan tetapi, mengapa Kara justru kian jauh dan menghindar seolah kesalahan atau kebohongan Dea telah merugikan dirinya.

"Dea kritis, Kar." Seperkian detik hening setelah Abdil bersua pada Kara. Lelaki itu menoleh sekilas dan kembali membuka bukunya seolah perkataan Abdil sangatlah tidak penting baginya.

"Gue tahu lo pasti kecewa sama dia. Karena lo nyaris gila saat Dea dinyatakan meninggal." Abdil balik bersua, kali ini nadanya sedikit menekan membuat Kara spontan menutup buku dan memandangnya sayu.

"Gue belum bisa maafin Dea. Kebohongan dia udah buat gue mati rasa," ujar Kara datar membuat Abdil menahan napas beberapa saat.

Abdil sedikit gelagapan untuk menjawab. Bahkan, lelaki itu nyaris menutup mata. "Hidup Dea gak lama lagi, Kar," lirihnya sembari menunduk lesu membuat Kara beberapa saat termangu.

Tapi, miris alih-alih percaya Kara malah terkekeh kecut dengan tatapan kosong yang mengarah pada Abdil. "Jangan balik buat kebohongan ... karena gue gak akan percaya lagi." Kara meluruhkan air mata tanpa terisak membuat Abdil menahan napas beberapa saat.

"Ini gak boh—" Abdil menghentikan ucapan saat ponselnya tiba-tiba berdering membuat Kara tersenyum kecut dan berlalu begitu saja bersamaan dengan Abdil yang mengangkat telpon tak lain dari Mamanya.

Abdil memandang kepergian Kara dengan tatapan sendu sembari menerima telpon tersebut. "Iya, Ma?" Abdil menunduk sembari membekap mulut saat mendengar suara dari seberang sana.

"Abdil ke sana sekarang." Abdil menutup telpon sepihak dan masih memperhatikan kepergian Kara yang makin jauh.

"Lo bukan Kara yang gue kenal."

***

Dari sekian banyak kebohongan mengapa harus kematian yang dia pilih? Seharusnya dia mengerti tentang cinta dan kasih sayang yang aku miliki. Bukan justru pergi dan kembali dengan raga yang berbeda hingga akhirnya mengakui dirinya.

Meski kebenarannya memang menyakitkan tapi entah mengapa kekecewaan ini sama sekali tidak berubah. Lalu, nisan yang kini tengah aku pegang hanyalah fatamorgana? Bunga mawar indah yang selama sepuluh bulan ku kirim dan taruh tak berarti sama sekali untukmu?

Tiap kali aku mengunjungi rumah terakhirmu aku selalu meraba nama indah 'Deandra Briana' nama yang raganya kurindukan selama sepuluh bulan lamanya. Tapi, miris ternyata kenyataannya aku dibohongi.

Air mata serta rasa sakitku berakhir menjadi cerita semu. Bolehkah aku jujur ... saat aku melihatmu masih hidup raga ini sangat ingin memelukmu namun hatiku terlanjur kecewa hingga terus menghindar dan menunggu waktu di mana kekecewaan ini hilang.

"Bulanku telah bangun dari tidur panjangnya. Tapi, kenapa aku tidak bahagia dan malah terluka?" Saat ini Karamu tengah menangis di atas rumah terakhirmu yang dia kira Dea.

Karamu sekarang tidak tahu harus melakukan apa terlebih saat mendengar kamu kembali terbujur seperti waktu itu. Karamu tengah gundah memikirkanmu Dea. Akankah Karamu mampu memulai semua dari awal bersamamu? Apakah kamu tahu? Selama kamu pergi setiap malam aku selalu berharap bulan muncul agar rinduku padamu sedikit pudar meski nyatanya itu tidak berhasil.

[✔] 2. Tentang Kara & Si GadisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang