||18|| Menata?

124 12 1
                                    

"Putri kecilku telah dewasa dan kematianku mungkin tak lama lagi."

***

Makan malam mewah itu berakhir bahagia. Tentang berbagai cerita yang menjadi curhat antara Ayah dan anaknya. Momen langka yang pertama kali dirasakan oleh Dea setelah penderitaan sembilan tahunnya. Sekarang semua perlahan menghilang darinya. Kebahagian yang sekilas memang benar sekilas. Enyah begitu saja dan hanya menyisakan Arjas yang masih mau menerima kehadirannya setelah kebohongan itu tercipta.

Dea sudah tak memikirkan apa-apa lagi setelah Kara menolak permintaan maafnya begitu mentah. Sekarang dia hanya punya waktu sedikit dan harus dia manfaatkan sebaik mungkin.

Permintaan Arjas juga permintaannya. Dea kembali pada pelukkan Arjas, ke rumah di mana dia lahir juga menderita. Tatapan matanya tak berbohong, di sana ada rindu juga pilu membuat Papanya mengembuskan napas dengan hati bersalah.

Kaki jenjangnya mulai mengayun masuk sembari melihat sendu seisi rumah yang berubah dratis. "Papa pajang semua foto kecilku?" tanya Dea dengan derai air mata.

Arjas mengangguk tak lupa asisten pribadi yang setia berdiri di belakangnya. "Papa sangat merindukan kamu, Nak."

Dea menunduk sekilas untuk menyembunyikan air matanya lantas mendongak dan tersenyum. "Dea minta maaf." Arjas menggeleng.

"Dea menyesal karena sudah berbohong." Kepalanya menunduk penuh penyesalan membuat Arjas menggeleng dan memeluknya.

"Kara pasti maafin kamu. Mungkin dia butuh waktu."

***

"Minggu depan kita lakukan ronsen untuk memastikan penyakit Bu Risna! Untuk sekarang diagnosa saya lambung Bu Risna tengah kambuh maka dari itu perutnya terasa sakit. Namun, jika minggu depan masih sama kita akan menindaklanjuti." Fernando hanya mengangguk sebagai jawaban lantas menoleh ke arah Risna yang kini tersenyum sembari terbaring tak lupa di sampingnya Abdil setia menemani.

Setelah kejadian di mana kenyataan dan takdir mengatakan bahwa Dea masih ada Risna malah terus sakit dan mengeluh tak enak badan membuat Abdil merasa dongkol terhadap Dea.

"Jangan mikirin apa-apa dulu, ya Ma!" Abdil mengelus tangan sang Mama membuat Mamanya menoleh dan tersenyum.

"Mama gak pa-pa, kok," sahutnya lemah membuat Abdil mendesah risau.

"Sekarang Mama harus fokus sembuh. Sejenak lupain Dea nanti kita ketemu dia setelah Mama sembuh." Abdil mengulas senyum nyaris bersamaan dengan kedatangan Fernando yang duduk di seberangnya.

Risna malah menggeleng dengan air mata luruh. "Jangan menyalahkan Dea, Nak. Dia tidak salah ... tapi Mama yang salah terhadapnya hingga membuat Dea pergi dan melakukan kebohongan ini." Risna meringsut duduk membuat Fernando sigap membantu. "Dea pasti punya alasan kenapa dia melakukan ini semua." Risna memejamkan mata membuat Abdil menunduk.

Sejujurnya Abdil sudah tahu mengapa dan apa alasan Dea melakukan semua ini dari Kara. Lelaki kaku itu menceritakan semuanya pada Abdil dan Redio juga Randy. Sebenarnya ketiga sahabat Kara menerima alasan Dea karena semua masuk di akal. Namun, nyatanya Kara masih tak bisa menerima sebab hatinya terlalu sakit.

Bukan karena cinta Kara lenyap, hanya saja istilah seribu kebaikan akan kalah oleh satu kesalahan sedang dia rasakan. Mungkin ... untuk saat ini Kara lebih baik menjauh, menghindari Dea.

[✔] 2. Tentang Kara & Si GadisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang