[11 : Latihan, Latihan, Dan Latihan]

9 0 0
                                    

Sementara di sisi lain, perempuan dengan rambut cepak itu hanya bisa pasrah saat tubuhnya dibawa keluar istana menuju colosseum. Mau ia serang tapi itu milik kakaknya, tapi kalau pasrah saja seperti terlihat orang bodoh. Ia menggerutu di dalam hati, jadinya serba salah untuk melakukan apapun sekarang.

Fabian langsung berguling di tanah saat elang itu melepaskan cengkramannya. Beruntung ia mampu mendarat dengan aman.

"Augh! Kak Fiona gila!" umpatnya pelan setelah mengaduh kesakitan. Walau mendarat dengan aman, tapi punggungnya terasa sakit karena berguling menyentuh tanah.

Anak terakhir itu bangkit lalu membersihkan debu yang menempel di bajunya. Ia mendengus pelan karena tempat ini masih mengingatkannya pada kejadian saat pembuktian yang lalu. Kejadian di mana Ayahnya sempat berbicara yang membuatnya bertanya-tanya. Sampai detik ini pun ia masih belum menemukan jawaban mengapa Ayahnya mengatakan hal seperti itu.

"Apa yang kau katakan padaku?" suara itu datang dari atas Fabian. Ia mendongak dan mendapati seekor elang besar, terbang di atasnya. Kemudian elang itu terbang lebih rendah sehingga Fiona mampu turun tanpa terluka. "Gila? Kau bilang aku gila? Kau yang lebih gila, tahu!"

'Here we go again.'

Fabian memutar bola matanya, "Apa yang gila dariku, Kak? Aku tidak berbuat apapun dan kau tiba-tiba mengeluarkan elang besar itu untuk menarikku ke sini. Untuk apa, hah? Aku ingin beristirahat setelah mendengar perdebatan kalian yang panjang tahu!" balasnya, tak mau kalah dengan kakaknya.

"Kau bertanya 'apa yang gila dariku' padaku? Kau serius?!" bentak Fiona, tidak percaya adiknya malah berkata seperti itu padanya. "Jelaskan padaku, apa yang kau inginkan sampai harus datang ke sacred place? Itu pertama. Yang kedua, mengapa kau selalu menjawab sesuka hati di courtroom? Kau tidak memikirkan bahwa posisimu itu sangat berbahaya?! Yang dulu terjadi bisa kembali terulang, kau tidak memikirkan itu?!"

Entah sudah berapa kali Fiona menaikkan nadanya karena perilaku adiknya yang membuatnya pusing. Padahal dia sudah berusaha untuk membela adiknya bahwa yang dilakukannya adalah ketidaksengajaan, tapi adiknya malah melakukan hal di luar ekspektasinya.

Fabian hanya bisa menghela nafas. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi; Fiona akan membelanya mati-matian di courtroom. Sekarang yang perlu ia lakukan adalah menjelaskan ke Fiona sejelas mungkin menggunakan bahasa yang singkat dan padat tanpa mengungkit rencananya.

"Aku memikirkannya, Kak. Tak perlu khawatir. Aku bakal baik-baik aja. Chill, Kak. Chill."

"Chill?! Kau menyuruhku untuk santai?! Kau gila?!" Fiona kembali membentak adiknya. "Sekarang kau mengiyakan pertarungan persaudaraan itu. Kau yakin akan menang, hah?! Yang kau lawan itu Sarah! Bukan musuh atau orang asing. Ku ulangi, SA-RAH! Kakakmu sendiri!"

"Dan kenapa aku harus takut pada Sarah?" Fabian membalikkan pertanyaan kakaknya. "Atau sebetulnya kau yang takut pada Sarah, Kak? Kau takut jika ia melukaiku kembali seperti dulu. Begitukah?" ia terkekeh pelan. "Kau tahu aku bukanlah seperti yang dulu. Aku sudah berubah banyak. Bukankah kau sendiri yang bilang begitu, Kak?"

"Tapi kau tidak memikirkan seberapa banyak berubahnya Sarah jika dibandingkan yang dulu! Dia sudah lebih kuat! Hanya Barbie yang bisa menyamai kekuatannya! Hanya Barbie!"

"Itu karena–"

"Hei, hei, ada apa kalian saling melontarkan nada tinggi?" Suara lembut ini datang dari pintu masuk arah istana.

Mereka berdua otomatis langsung menoleh dan mendapati Oriana datang dengan aura yang lembut. Seolah-olah kedatangan Oriana itu meredakan pertengkaran mulut antara Fiona dan Fabian.

D'WHITETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang