[Prolog]

204 19 1
                                    

Perempuan dengan rambut hitam pekat itu terus berlari. Ketika ada kesempatan terbuka lebar, dia menolehkan kepalanya demi melihat prajurit-prajurit yang masih gencar mengejarnya. Mendecakkan lidah sebelum memfokuskan tubuhnya untuk berlari lebih kencang. Sesekali melompat untuk menghindari tanaman dan akar belukar di sepanjang perjalanannya.

Kali ini, mau tak mau, kaki telanjangnya harus menginjak berbagai macam batu dan tekstur tanah agar bisa kabur dari kejaran para prajurit. Mengabaikan rasa sakit yang diterimanya hanya untuk bisa berlari lebih kencang. Nafas sudah tidak beraturan, tersengal karena berlari tanpa henti dengan jantung yang bekerja lebih cepat dari biasanya. Mata mulai mengabur akibat keringat yang mengucur deras sampai—

Dugh! Brak!

—menghalangi penglihatannya dan membuatnya tersandung akar besar. Wajah menghantam tanah, tubuh berguling hingga beberapa bagian bajunya sobek akibat tersangkut di akar maupun batu yang berada di permukaan.

"Shit!"

Dia baru bisa bangkit untuk duduk setelah mati-matian menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Telinganya mendengar suara gerakan kaki yang bergerak cepat disertai gemerincing benturan baju besi. Tidak perlu menebak siapa yang akan datang, dari suaranya saja sudah sangat dikenalnya seperti sudah terbiasa mendengar suara-suara itu.

Namanya Fabian. Seorang perempuan yang punya rambut dengan gaya potong cepak—nyaris menyerupai laki-laki jika tidak diperhatikan baik-baik—dengan rambut hitam kelamnya, dan iris mata berwarna putih keperakan yang bersinar ketika cahaya matahari menerpanya.

Tidak butuh waktu lama untuk prajurit-prajurit itu mencapainya dan langsung membentuk sebuah lingkaran. Lengkap dengan sebuah perisai baja dan pedang yang terarah pada Fabian. Mengancamnya untuk tidak mencoba melakukan hal gegabah lagi. Melihat hal itu, dia hanya bisa mendecakkan lidahnya, kesal karena percobaannya untuk kabur kembali gagal.

"Kau sudah menyerah?" tanya suara yang bersumber dari belakang prajurit. Suara yang sangat dikenali Fabian semenjak menjadi tahanan. Barisan prajurit di sebelah kanannya terbuka, membuat jalan untuk seseorang yang baru memunculkan batang hidungnya. "Enak sekali bisa duduk santai di sini setelah menyusahkanku."

"AARRGHH!"

Fabian berteriak saat seseorang yang berkelamin laki-laki itu menarik rambutnya dengan kuat. Tangannya menggapai lengan lelaki itu, berusaha untuk melepaskan tarikan di rambutnya yang membuat kepalanya sakit.

"Kau sudah tidak bisa kemana-mana lagi, Budak."

"Aku tidak mau kembali lagi kesana, sial—argh!"

Fabian kembali berteriak saat lelaki itu melepaskan tarikannya dengan mendorong kepalanya hingga wajahnya bertemu dengan tanah, meninggalkan luka lecet beserta tanah yang menempel di wajahnya. Dia menatap lelaki pemilik rambut berwarna biru muda itu dengan bengis. Tidak terima dengan perilakunya tadi.

"Bawa dia."

Dua prajurit langsung menarik lengan Fabian saat dia sedang lengah dan langsung memasang borgol di kedua tangannya. Ditarik tubuh kecilnya itu secara paksa hingga berdiri, limbung di posisinya karena tidak siap dengan gerakan yang tiba-tiba. Kemudian ditarik ke arah yang berlawanan dari arah dia berlari, ke tempat di mana seharusnya dia berada.

"Lepas—lepaskan! Aku tidak ingin kembali!"

Perempuan dengan status budak itu memberontak kuat dengan sisa tenaganya, cukup membuat dua prajurit yang memegangnya kewalahan.

"T-Tuan, budak ini terus memberontak."

Aneh, para prajurit hanya tau jika budak yang selalu mencari masalah ini adalah seorang manusia. Tapi dua prajurit yang memegangnya kelimpungan, bahkan pegangannya hampir terlepas jika tidak menarik rantai yang menjuntai di borgolnya.

Lelaki yang dipanggil 'Tuan' itu menghentikan langkah kakinya, membalik badannya hanya untuk menatap wajah penuh luka itu tanpa rasa kasihan sebelum akhirnya melanjutkan jalannya.

"Buat saja dia pingsan. Bukankah itu lebih mudah?"

DUGH!

Fabian mengerjapkan matanya sebelum kesadarannya menghilang akibat pukulan kencang di tengkuknya. Dengan mudah, para prajurit itu menyeret Fabian kembali ke tempatnya, mengikuti jejak kaki lelaki dengan rambut biru muda itu.

'Ah, sial. Percobaan kabur yang ke sepuluh gagal lagi.'

-TBC-

A/n : hai, aku kembali membawa cerita yang sudah siap untuk dibaca. Jadi, bagaimana? Tertarik membacanya? Jangan lupa untuk memberikan vomen ya! Sangat berguna untuk kelanjutan cerita ini. And last but not least, see you soon!

D'WHITETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang