Day 6 pt. II

6 3 0
                                    

Underline













"Kan ku bilang apa, mereka ga bakal lihat asap ini" nada Austin mengejekku.
Aku mendengar suara bersin dan ternyata Agatha dengan hidung merahnya ala orang terkena flu sedang menyender di pintu dapur.

"kalian sedang apa, uhuk.." Ia berjalan mendekati kami berdua, tapi kondisinya sangat buruk. Sakit saat pandemi adalah mimpi buruk.
Aku menuntunnya ke dalam rumah untuk duduk "kau tak apa?".

Dahinya sangat panas, walaupun tangan tak bisa mengukur suhu dan kusentuh kulitnya sangat kenyal- lebih dari itu. Bintik-bintik merah juga bertambah banyak. Cacar air?. Aku akan pergi sebentar mengambil paracetamol, obat yang selalu ibuku berikan ketika demam.

Sungguh sekarang pikiran aneh mulai muncul, mungkin Agatha terkena vio- viokase?. Jika iya, aku akan mengusirnya (dan mungkin Austin ikut keluar), tapi aku bisa menemukan gejala penularan.

Tapi aku tak mau sok-sok an menemukan obatnya. Seperti kutipan scene di film re-kill, mereka mengkarantina new york dan melakukan eksperimen, namun nyatanya membuahkan gelombang ke-dua.
Jika hal ini kenyataan, aku akan membuat cerita tentang itu.

Agatha meminum obat itu, terlihat ia sangat menggigil dan perlu selimut. Aku memberinya termometer, perlu menunggu. Wajahnya sangat pucat, Austin datang membawakan segelas air mineral.
"fak, dia empat puluh dua koma lima derajat!"

Austin ke dapur mengambil kompresan, sedangkan aku membawanya ke kamar depan. Dia menyusahkan tapi jika ada sesuatu, aku tak mau rumahku berantakan.
Ia tidur, masih saja menggigil. Demam tertinggi yang pernah ku ukur, apakah dia kebanyakan makan es?.

Austin datang, ku sentuh airnya dan dingin.
"Pakai air hangat, bukan air dingin! demam itu proses tubuh mematikan bakteri penyebab penyakit, bukan awal sakit".

"Dari mana kau tau itu, huh. Dia malah tambah demam!"
"Mau ku ceritakan semua yang aku tau??" ekspreksi wajahnya sangat menjengkelkan.

"tidak-tidak! itu bertambah besar, ibu lihat itu aku tak suka!!" Agatha berbicara dalam tidurnya.
Demam tinggi yang menyebabkan halusinasi.
"tak apa, kau demam tinggi dan semua akan baik-baik saja. Tenangkan dirimu"
Aku seperti ibu dadakan.

"Austin, kita harus buat satu kesepakatan"

"Ayolah.. dia tak akan menggigitmu"

"Siapa tau? jika dia agresif, aku akan langsung mengusirnya-
"-aku aka-"
"Aku tak perduli kau mau mengikutinya atau menetap. Tapi jika dia normal, aku akan mengikatnya. Setuju?. Jika tidak keluar dari rumah ini sekarang"

"kau tak serius" Ia meringis
"masa bodoh dengan itu, setuju... atau keluar?"

Austin menatap Agatha "baiklah, baiklah"

"Bagus, awasi dia. Aku akan membuat makan siang"
Aku berjalan menuju dapur sembari mencuri pandangan ke belakang, barang kali Austin mengikuti.
Sampai disana aku langsung mencari tempat menyembunyikan benda tajam.

Menu kali ini adalah salad, tanpa daging setengah matang untuk zombie.
Aku membeku sejenak mendengar suara plastik terinjak dari halaman belakang, pisau ditangan sudah siap menusuk makhluk apapun di depan.

Tak ada apapun disini, aku maju mengintip ke salah satu celah pagar kayu- sialan itu tubuh milik siapa.
Baru kali ini aku melihat mayat manusia yang digerogoti gigi kanibal, baunya menggugah selera makan karena usus besarnya terbuka.

Mataku sudah berair menandakan akan muntah, seorang menyentuh pundakku- ku sangka-
Agatha kurang ajar! ia bersin hampir tepat didepan wajahku, untungnya tanganku sudah di mulutnya.

VIOKASETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang