WMG || 09

174 206 27
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Loh nduk, Kiai Dul sudah balik?"

Khilya mengangguk. "Sampun, Umi. Barusan beliau pamit pulang."

Raut wajah Umi Salamah berubah menjadi masam. "Padahal Umi sudah siapin ini buat beliau," ucapnya parau sembari menatap ke arah secangkir kopi serta beberapa camilan.

"Mboten nopo-nopo Umi. Beliau malah nitip ini katanya buat Umi." Khilya menenteng totebag coklat dengan sigap. Lalu memberikannya pada Umi Salamah.

"Wah. Beliau memang baik sekali ya, Nduk," ujarnya dengan mata yang berbinar.

Khilya mengangguk. Ia juga merasa bahwa Kiai Abdul Latif memang orang yang baik. Namun entah mengapa karena kebaikannya itu, ada beberapa pertanyaan yang membuat pikirannya terganggu.

"Loh. Kamu kenapa, nduk? Kamu gak senang dengan pemberian Kiai Dul?" tanya Umi Salamah saat menyadari perubahan Khilya.

Khilya mengembuskan napas berat. "Umi, ngapunten. Khilya mau nanya boleh? Erm, maaf kalau mungkin pertanyaan Khilya terbilang kurang sopan. Tapi Khilya ngerasa Khilya harus tanya ini sama Umi."

Kali ini tatapan serta nada bicaranya terdengar serius. "Khilya hanya ingin kejelasannya saja, Umi. Tidak lebih," lanjutnya.

***

Pupil matanya melebar saat melihat kegaduhan yang ada di belakang gedung sekolah putra.

"Stop!" ujarnya dengan sangat lantang. Mendengar seruan itu, kegaduhan itu mendadak berhenti.

Mereka semua menunduk saat mengetahui siapa yang datang.

"Segera temui saya di ndalem," ujarnya kemudian pergi begitu saja.

Selepas kepergian lelaki itu, mereka tak langsung mengekor. Mereka lebih dulu beradu mulut serta saling menyalahkan satu sama lain.

"Semua ini gara-gara lo!"

"Lo duluan!"

"Lo! Kalau lo gak ngerebut cewek gue, mungkin lo gak akan gue tonjok."

"Cih! Siapa juga yang suka sama cewek genit kayak dia!"

Mereka masih saja beradu mulut. "Awas aja ya! Lo bakal tanggung akibatnya setelah ini."

Lelaki berukuran sumo itu melenggang pergi. Ia pergi dengan amarah yang masih meluap dikepalanya. Sedangkan beberapa yang lainnya memutuskan untuk merapikan seragamnya sebelum menemui Gus Baim di ndalem.

Baim kembali ke ndalem dengan raut wajah yang pucat. Pelipisnya ia pijat beberapa kali. Baru kemarin rasanya menyelesaikan masalah santriwati yang beradu mulut. Kini dirinya harus menyelesaikan masalah kembali dengan beberapa santriwan.

Why Me, Gus? [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang