WMG || 18

182 149 83
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi ini Adiba mendadak demam. Tubuhnya menggigil. Suhu badannya tinggi ditambah dengan wajahnya yang pucat membuat Khilya tidak tega jika meninggalkannya di kamar asrama sendirian.

"Kalau nanti kamunya butuh apa-apa gimana, Ba. Siapa yang ngurusin."

"Aku nggak papa, Khil. Cuma demam biasa aja. Kamu kuliah aja ya. Yang pinter, biar cepet lulusnya."

Ya, Adiba menolak permintaan dari Khilya. Dirinya kini justru mengusir tangan Khilya yang hendak menyentuh keningnya.

"Ih, tangan kamu minggir dulu dong, mau aku ganti kompresnya dulu," protesnya.

Adiba hanya bisa menghela napas berat. Kalau sudah begini, ia hanya bisa pasrah. "Maaf ya, Khil. Jadi ngerepotin."

Khilya menggeleng. "Ngomong apa sih, Ba. Kata siapa ngerepotin. Aku malah seneng kalau bisa bantu dan nemenin kamu kayak sekarang ini."

"Makasih ya sahabatku yang paling baik dan cantik! Udah ah, aku udah nggak apa-apa. Buruan berangkat, Khil. Bisa telat loh."

Reflek netranya menatap ke jam tangan yang melingkar ditangan kirinya itu. Beberapa menit lagi mata kuliah akan segera dimulai. Namun Khilya tak ambil pusing. Toh, seingatnya jam pertama memang hanya di isi dengan mengumpulkan tugas bukan?

"Lah kenapa malah diem di sini, Khil? Buruan berangkat. Atau jangan-jangan kamu nggak berani berangkat sendiri ya? Yaudah ayo deh aku temenin."

Khilya menggeleng dengan cepat. "Ih. Nggak gitu ya, Ba. Nggak-nggak. Kamu nggak boleh masuk dulu. Kamu harus rehat sampai sembuh. Aku berani tau. Kamu jangan mikir yang aneh-aneh dulu. Aku tetep di sini karena jam pertama emang cuma buat ngumpulin tugas kan?"

Matanya menatap ke langit-langit kamar. Beberapa detik setelah itu ia mengangguk. "Oh iya ya, Khil. Bener juga."

"Nah! Makannya aku tungguin kamu aja sampai jam pertama selesai."

"Halah! Ngeles aja kamu ini. Bilang aja kalau mau bolos!"

"Eh! Nggak ya! Enak aja! Aku anak baik-baik," ujarnya sambil membela diri.

"Makannya buruan berangkat, Khil!"

"Iya-iya! Tapi nanti!"

***

"Gimana sama perasaan antum, Im? Sudah lebih tenang?"

Baim mengangguk. "Alhamdulillah udah, Rif."

Arif menepuk pundak Baim beberapa kali. "Saya ikut seneng dengernyo."

"Terus antum habis ini mau ke mana? Kayaknya buru-buru banget," lanjutnya saat melihat Baim yang terlihat tergesa-gesa ingin segera keluar dari kelas.

Why Me, Gus? [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang