WMG || 22

93 80 150
                                    


بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Tak terasa seminggu telah berlalu. Dengan membawa beberapa berkas yang sudah diperbaiki, lelaki itu melangkah menuju ruang sidang. Hembusan napas berat terdengar saat ia sudah sampai di depan pintu coklat yang berukuran cukup besar.

"Bismillah," ujarnya sembari memegang gagang pintu sisi kanan. Beberapa detik setelah itu nampak ruangan yang cukup luas.

Terlihat beberapa penguji sudah duduk manis di kursi yang telah disediakan. Mereka tampak asik bercengkerama sambil memegang berkas ditangannya masing-masing.

Lelaki itu tak lupa melemparkan seulas senyum sebelum duduk di bangku yang berada di depan para penguji. Jujur saja, detak jantungnya bergemuruh tak karuan sekarang. Tanpa basa-basi lagi, ia segera merapalkan banyak doa untuk kelancarannya hari ini.

***

Netranya tak sengaja menatap perempuan yang beberapa hari ini sudah membuat hidupnya berantakan. Terlihat perempuan itu sedang menikmati es krimnya sembari berjalan dengan sangat santai. Ia sama sekali tak merasa bersalah ataupun kapok dengan perbuatannya. Meskipun kepala sekolah sudah memberikannya hukuman berupa sebuah skors agar ia tidak bisa masuk kuliah terlebih dahulu, tetapi sepertinya ia malah menikmati semua itu.

Perempuan itu — Humaira, sempat melirik sekilas ke arah Khilya. Setelah itu ia kembali mencomot es krimnya dengan nikmat. Ia benar-benar tak peduli dengan siapapun sekarang.

"Nggak tahu malu banget si Huma itu ya, Khil. Harusnya dia tuh nggak keluyuran seenaknya kayak gini. Bener-bener nggak punya otak kali tuh anak."

Adiba terus mengoceh tanpa henti sampai tak sadar jika ia sudah berada di depan gerbang kampus.

"Udah, Ba. Lebih baik kita urus diri kita sendiri saja dulu. Nggak baik loh terus-terus an ngurusin hidup orang lain. Toh, Huma juga udah dapat konsekuensi dari perbuatannya kan? Untung loh kita waktu itu ada yang belain. Alhasil kita terbukti nggak sepenuhnya bersalah."

Adiba mengetuk-etuk jari telunjuknya ke dagu. "Erm, iya juga sih, Khil. Huma juga udah dapat balasannya sendiri."

Khilya mengangguk, "nah iya! Udah ya. Jangan pernah urus orang lain lagi. Apalagi sampai terus-terus membicarakannya. Nanti kita sendiri loh yang malah dapet hal buruknya."

***

Baim keluar dari ruangan itu dengan perasaan yang lega. Tak lupa ia mengucap banyak syukur karena telah berhasil melewati semua itu. Beberapa menit yang lalu, hampir setengah jam lebih, Baim dituntut untuk menjawab beberapa pertanyaan oleh dosen pengujinya dan tak butuh waktu lama, untuknya menjawab pertanyan tersebut.

Dengan buru-buru tangannya merogoh ponsel yang sedari tadi berada disaku celana. Ia menekan tombol panggil dengan cepat.

"Assalamualaikum, Umma," sapanya mengawali pembicaraan.

Why Me, Gus? [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang