WMG || 17

121 128 32
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Keesokan harinya Khilya memilih untuk menemui Baim. Ia mengucap kata syukur saat melihat Baim yang sedang berjalan di koridor kampus.

"G-us! Tunggu!"

Khilya bernapas lega saat langkah kaki itu tak berlanjut, artinya Baim telah berhenti dan sekarang sedang memutar badannya menghadap ke belakang.

"Erm, ma-maf, Gus. Anu, khilya mau tanya," tuturnya dengan menghela napas berat.

Satu alis Baim terangkat. Seolah sedang meminta penjelasan pada perempuan yang kini sudah berada di hadapannya ini.

"Erm, Anu. Gu-s ya-ng kemarin ngechat saya kah?"

Sontak Baik mengangguk. "Iya. Tapi gak ada respon sama sekali dari kamu," sahutnya dengan cepat.

"Erm, Gus Baim memangnya dapat nomer Khilya dari mana?"

"Umma," jawabnya singkat.

Khilya menunduk dengan memainkan jari jemari. "Bukannya waktu itu Gus bilang kalau .... Gus gak bakal hubungi Khilya sebelum Khilya memantapkan hati untuk Gus ya?" tanya Khilya sedikit panjang dengan suara yang sangat lirih.

"Berarti sampai sekarang hatimu belum mantap?"

Khilya tampak gelagapan. Bukan itu maksudnya. Duh, ya Allah. Sepertinya Khilya salah bicara yang membuat Baim berujung salah paham.

"Hmm. kalau memang tidak ada lagi yang ditanyakan, lebih baik saya permisi dulu." Baim pamit, sepertinya dengan sedikit rasa kesal. Sedang Khilya hanya bisa menangkap bayangan Baim yang semakin menjauh Napasnya berhembus dengan berat. Ingin sekali rasanya berteriak memanggil Baim tetapi lidahnya terasa kelu.

"Khilya harus gimana ya Allah ...."

***

"Antum kenapa lagi, Im?"

Baim hanya menggeleng pelan. "Nggak papa," sahutnya singkat.

"Bentar-bentar. Tampaknya dikao ini sedang menggalau ya?" tebaknya dengan sangat percaya diri.

Dia Arif, teman sekampus Baim yang bisa dibilang sangat akrab dengan Baim.

"Rif, sayo boleh nanya sebentar ndak samo antum?"

Arif terkekeh mendengar kalimat itu. "Udah, pakai bahasa biasa saja, Im. Biar lebih enak."

Baim manggut-manggut. "Oke. Jadi gini."

Baim memilih untuk menyamankan duduknya sebelum kembali mengeluarkan sederet pertanyaan pada Arif - temannya.

"Kalau semisal kamu dijodohin sama orang tuamu dan si calonmu ini belum yakin sama kamu, kamu mau gimana?"

Why Me, Gus? [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang