Part 14 : Mind

1.9K 338 204
                                    

Keheningan hangat menyelimuti Lylian, teduh hati memperhatikan lengkungan wajah Haura bertepatan kupluknya diperbaiki.

Ia menjenguk sejak lima belas menit silam. Kendatipun bukan hari minggu, Audy mengizinkan serta menggiring beberapa jenis buah. Senang hari ini sang Ibu cerewet daripada biasanya, tampak kecemasan tertanam.

Lian terduduk, menanti Haura bersuara lagi. "Kamu betah tinggal di sana?"

"Betah, Ma," sahut Lian. Haura tahu ia memiliki pekerjaan baru, ia tidak bilang bahwa rumah Sagara Naresh ia bersemayam.

"Apa mereka memperlakukan kamu dengan baik?" Haura memancarkan raut bimbang. Pucat. Lian pamrih melihatnya seperti ini.

"Tentu saja." Lian tergelak untuk meyakinkan. "Mama gak perlu khawatir, aku baik-baik aja kok. Di sana tempatnya enak, orangnya juga baik banget." 

Haura menghela napas lega, mengejam ibarat lelah, Lian segera menyokong guna merentangkan posis, Haura mesti beristirahat. Setidaknya cukup puas mengenai keceriaan Ibunda, biarpun Haura adalah mendorong tindakan berisiko, ibunya berhasil menumbuhkan kesadaran diri. Apabila ia mendengarkan kata hati, apakah Sagara bisa meraih impan selayaknya sekarang? Dan apakah setiap hari akan berlalu bagaikan mimpi indah? Lian tersimpul getir, betapa bodohnya ia merenungkan hal itu. Semua sudah terjadi. Ia semata-mata menjalani hidup. Sampai detik ini Lylian bahkan tidak tahu apa alasannya hidup.

Bunyi dua ketukan pintu mengalihkan atensi Lian, ia melirik pintu terbuka menampakkan Farin Magani selaku perawat paling dekat dengannya. Farin membawa sebuah dokumen, menaruhnya sebelum membenahi selang infusan. Selepas itu, mengarah Lian dengan wajah lemas.

"Nona Mahisa, bisa minta waktunya sebentar?"

Firasat Lian tidak baik, ia tak ada pilihan selain menyetujui. Farin pergi keluar ruangan, mencegah Haura mendengar ini. Lylian menatap Haura dalam sungging garis cantiknya. Merapatkan selimut sebatas dada. "Tunggu, Ma."

Haura mengangguk, sedangkan Lian berangkat menuju pintu. Ia menilik Farin yang gelisah seusai menutup pintu. Karena ruangan Haura terletak di ujung lorong, kebetulan di sana sepi. Lian mendekat, berusaha senyap walau gelagat Farin terduga.

"Ada apa?" tanya Lian lembut.

Farin menyerahkan dokumen tersebut, Lian bertatap beriring membongkar isinya. Bersedia membaca, pengakuan Farin menambah ketegangan tak teratasi.

"Biaya tagihan rumah sakit udah keluar, mereka ingin kamu bayar secepatnya karena sudah enam bulan berlalu."

Lian semula buncah, memberanikan mengeja tulisan tertera. Di sana tercantum biaya terperinci selama enam bulan terakhir, hingga lembar terbelakang Lian kontan menampilkan mulut bercelah, merapal total keseluruhan.

Seratus enam puluh sembilan juta rupiah...

Lian sontak menggigit pipi dalam, memejam supaya tubuh dinginnya normal. Kepala terasa berat seketika, jantungnya seakan melompat. Seharusnya ia tidak terkejut, biaya itu termasuk murah untuk perawataan di rumah sakit, hanya saja ia tidak pernah menumpuk sebanyak itu. Asuransi tidak pula berlaku. Lantas dari mana ia mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu cepat?

"Itu udah sampai bulan ini, tapi di luar terapi radiasi." Farin melaporkan.

Ia mendesir napas pasrah, memasukkan kertas itu seperti awal. Oh, Tuhan mengapa ia tidak pernah bisa tenang? Lian tidak bisa menemukan jalan jika bukan meminjam, itu juga bukanlah pilihan tepat. Teman-temannya terlampau banyak menolong, terutama Ryder.

Sebuah genggaman di jemari memungkasi lamunannya, ternyata itu adalah Farin yang menyelia teduh, paham ini berat. "Lian, menurut aku kamu bisa membayar setengahnya lebih dulu."

NARESH (Hidden Black Soul)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang