Part 32 : Sincere

3K 390 850
                                    

Khusus Part ini targetnya 220 vote 1k komen

Lylian mengerjapkan mata, menggeliat kecil sewaktu otot terasa begitu kaku. Ia kemudian duduk dari baringan, mengecek jarum jam di dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam.

Termenung, memikirkan bagaimana bisa ia tertidur di ranjang bila seseorang tidak menggendongnya. Lian pun mengingat perkara lima jam silam, kesesakan menghantamnya, samar-samar mengingat setiap kejadian itu. Terutama ... Gara datang sekaligus menolongnya.

Lian beranjak mandi alasannya tubuh ini lengket dan layu, ia bergegas masuk ke kamar mandi, bergulat kencang yang ditemani suara gerimis. Tak kuat hanya diam dan berlagak tidak terjadi apa-apa, Lian menguatkan tekadnya untuk menghampiri Gara setelah ini.

Selesai membersikan diri, Lian beralih mengenakan Pajama lengan dan celana pendek. Satu hal spontan ia menyisir anak rambut di depan cermin, tersenyum simpul berusaha menyakinkan semua akan baik-baik saja. Saat ia keluar kamar, rumah amat hening juga gelap, mungkin karena sudah larut malam serta Audy bersama yang lain belum pulang. Tersisa Lylian dan Sagara belaka.

Perlahan-lahan kaki Lian menaiki tangga, bergelut dengan banyak asumsi, dan terpenting pintu kamar Gara sudah di depan muka. Ia mengetuk sebanyak dua kali, tidak ada pertanda. Sekali lagi ia ketuk tiga kali, hasilnya sia-sia. Lian bingung, ia mengurung diri untuk hal semacam ini, tetapi masih mengganjal.

Memeriksa Gara mungkin solusi terbaik, maka Lian menekan tuas yang anehnya tak terkunci. Ia menegaskan bila pintu itu terkunci Lian akan angkat kaki. Namun, kenyataannya berbanding balik hingga menumbuhkan rasa penasaran baginya, ia pun mengintip dari celah terbuka.

Tidak ada siapapun.

Ragu-ragu tapi pasti, Lian berjalan masuk hanya sekadar melihat-lihat dan mencari keberadaan Gara. Niat memeriksa ke lemari pakaian kandas, pemicunya adalah bingkai foto di nakas yang tidak sempat ia sentuh. Demi Tuhan, Lian bersumpah tidak akan lama, walhasil ia duduk di tepi ranjang lalu meraih foto pernikahan Audy dan Gara. Sialnya ... mereka terlihat sangat sempurna.

"What are you doing?"

Bariton Gara mendesak masuk indra pendengaran Lian, wanita itu terpaku menyaksikan Gara bertelanjang dada, dilengkapi handuk saja di pinggang. Agaknya Gara baru saja mandi.

Lian terpana, tak sengaja menonton kulit cokelat gelap itu dan memuji ketampanan Gara yang nyata meski ruangan redup, sebatas terbantu cahaya hangat dari lampu nakas. Ia meletakkan bingkai lagi, kalakian bangkit untuk pergi dengan gelagapan. "Maaf—"

"Sit back down," potong Gara tiba-tiba.

Memahami kalimat Gara, Lian memastikan telinganya tak bermasalah. Lelaki itu mengunci matanya seolah-olah harus dituruti, kendatipun canggung dan tegang, hendaklah ia kembali duduk di tempat awal.

"How do you feel?" Pertanyaan itu Gara lempar sembari memakai baju, berdiri di arah belakang.

Lian membasahi bibir, lekas mengalihkan pandangan. "Lebih baik," cicitnya mencuri pandang, palar menyampaikan kata yang terselip di ujung lidah. "Anu..."

Kalimat rangkai yang Lian susun menghilang seketika kala Gara sudah mengenakan kaus dan celana selutut, kemudian duduk di sampingnya. Lian menelan ludah, meraup oksigen siap berkata walau kegugupan menghadang tanpa jeda.

"Aku—saya, itu..." Kosa kata berantakan itu membuatnya frustrasi sendirian.

"Lian," panggil Gara tanpa raut wajah terhias. "Bicara yang jelas."

Suara serak Gara menciptakan rasa bersalah mendalam. Lian menyesal. Sangat menyesal. Suara itu ada penat tersembunyi.

"Terima kasih," ungkap Lian halus. "Terima kasih banyak untuk semua ini dan aku minta maaf."

NARESH (Hidden Black Soul)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang