Lima hari berlalu, Lian wajib menjenguk Haura lantaran minggu kemarin harus tertunda. Selain karena bermain Golf, ia sakit kemudian hari pula, meski tak parah dan berlangsung selama dua hari saja, Audy baru memberi izin hari ini.
Kakinya menapak lorong rumah sakit menuju ruang sederhana Haura. Seiring mendekat, pijakan kaki memelan menjumpai lelaki berpakaian formal di depan pintu sasaran. Kening menekuk, Lian terheran akan keberadaannya. Wajah familiar, Lian hendak bertanya siapa gerangan dia, tetapi ingatan lebih dulu mengungkap bahwa lelaki asing itu persis seperti seseorang yang ia lihat bersama Gara dua bulan lalu di Mandora. Kalakian ia menarik tuas pintu untuk masuk, betapa terpakunya ia mendapati siluet Gara membelakangi ruangan. Debaran jantung tak lagi normal, Lian meraup oksigen secepat mungkin, beradu tatapan ketika lelaki itu menoleh kecil. Mata berpendar pada punggung Haura yang meringkuk sembunyi.
Lian tentu kelu atas kehadiran Gara di sini, tubuhnya membeku sampai-sampai kehabisan waktu untuk protes, pasalnya lelaki itu lebih dulu berbalik sembari memasang raut bengis tak terduga. Rahangnya terbukti kokoh seakan-akan menahan sejuta kata di bibirnya, lelaki itu mengeluarkan jemari di balik kantong celana, membuang muka seraya melewatinya tanpa sepatah kata. Kondisi tersebut mematikan semua saraf Lian.
Beberapa detik usai lelaki itu pergi, ia bergegas menyentuh Haura. "Mama," panggilnya lembut.
Haura membalikkan badan, memperlihatkan air mata membasahi pipi. Lian panik, bergeming mencerna apa yang terjadi.
"Maafkan Mama...." Haura menautkan jemarinya, menangis tersedu-sedu. "Lian, Mama bersalah. Mama mohon ampun. Tolong...."
Ya, Tuhan. Terlihat Ibunda sudah mengetahui kebohongan Lian selama ini, ia tak pernah memberitahu dengan siapa ia bekerja. Namun, jikalau Gara memang membencinya, mohon untuk jauhi keadaan Haura yang rapuh. Lian menahan air mata, mengelus tepi tangan Ibunya. "Mama istirahat dulu, ya."
Haura menggeleng kuat, tubuhnya bergetar seolah ketakutan. "Sagara datang, ini salah Mama."
Bertambah sakit hati Lian mendengar isakan itu, Lian mendorong lembut pundak lemah Haura di bantalan ranjang. "Sshht ... tenang, Ma. Tarik napas yang dalam, Lian di sini untuk Mama."
Haura menurut, ia terus memegang jemarinya. Melayangkan pesan lewat netra bahwa dia menyesal dan kelesah.
Mengeluarkan napas berat, Lian berpikir keras tentang tujuan Gara datang? Apa rencana lelaki itu? Apa yang mereka bicarakan? Apa tak cukup dia menistakan harga diri Lian? Sikapnya berganti-ganti, Lian disodorkan teka-teki basi.
***
Bulan satu-satunya objek Lian menatap, angin malam terhilir lembut pada kulit, tepat berendam di kolam air hangat di sisi kolam, pikirannya turut menikmati ketenangan. Audy tak salah mengajaknya melakukan aktivitas ini.
Beberapa menit berselang, Lian menghayati rasa wine yang Audy sodorkan. Sungguh berbincang kecil, tertawa, dan berada di posisi ini Sangatlah bagian terbaik.
KAMU SEDANG MEMBACA
NARESH (Hidden Black Soul)
FanficLylian Mahisa memangku masa lalu kelam. Lenyapan yang terkubur kini menuju permukaan membuat ia kembali terikat dengan Sagara Naresh. Lelaki pemegang segala kuasa, menarik tumbang pada genangan dosa. Sagara tak segan menaruhnya di bawah kendali daha...