Aldeins' POV
"Dein, 5 menit lagi"
Aku bangkit dari bangku pemain mengikuti timku menuju lapangan. Sejak satu jam yang lalu aku menunggu seseorang di backstage dan di bangku panitia namun tak ada tanda-tanda ia akan datang.
Sesampai di lapangan pun aku terus melihat ke tribun penonton memastikan kedatangannya, walaupun sebenarnya memang kecil kemungkinan ia datang hari ini setelah kemarin ia terlihat sangat marah dengan perbuatanku.
Aku tidak sadar sampai sefrustasi itu hanya karena diabaikan, mungkin karna baru kali ini pula aku sesuka itu pada seseorang. Tak bisa kubantah, ia seperti sebutir pil penenang untuk hidupku yang hectic. Hingga 30 menit kemudian aku berada di lapangan, Grita tetap tak menunjukkan dirinya. Aku kecewa.
***
***Anehnya, hari ini Grita datang ke acara penutupan. Berdiri di pinggir lapangan mengalungi sebuah kamera. Aku menghampirinya dan langsung to the point.
"Bilang, aku ada salah apa ke kamu?"
Ia agak kaget, "...enggak ada, ngomong apa sih"
"Aku tau ada yang nggak beres"
"Aku nggak ngerti maksud kamu" Jawabnya tanpa melihatku, terus memotret acara pemberian hadiah pada pemenang di atas panggung.
Ia menjawab dengan acuh. Seakan tidak ada yang terjadi diantara kami belakangan ini, padahal ia tau aku selalu me-nomor-satukan-nya hampir sebulan ini. Sekarang ia malah berbicara seperti baru pertama bertemu, padahal hampir setiap hari aku menelfon hanya karena ingin melihatnya.
Aku tak tahan lagi. Aku menariknya ke ruang ganti atlet terdekat di stadion ini. Suara sorakan yang aku yakini bukan karena menonton pemberian hadiah itu terdengar dari tribun. Entah berapa pasang mata melihatku menarik seseorang saat itu.
Aku terdiam beberapa saat mengontrol emosi. Grita terus menunduk tak berani menatapku.
"Kamu ngehindar dari aku." Ucapku sebisa mungkin untuk tak terdengar menakutkan.
"Acara ini sebenarnya ada untuk kamu. Gak ada alasan lain aku pindahin acara kampus ke tempat ini. Aku pengen kamu nemenin aku disini..." Suaraku terdengar keras sekarang. Grita makin menunduk.
Sedikit merasa bersalah sudah setengah berteriak di depannya."..Tapi kamu malah gak ada di hari aku main." Mungkin kali ini terdengar bergetar.
"Aku pikir aku nggak sepenting itu buat kamu." Grita akhirnya bersuara namun tetap enggan melihatku.
"Kamu bercanda? aku rasa udah jelas banget, tadinya aku kira gak perlu aku tegasin lagi gimana perasaan aku."
"Aku gak ngerti maksud kamu perasaan yang gimana. Cuma perasaanku ke kamu yang jelas disini, sementara kamu? apa yang bisa aku pastiin dari orang yang udah tunangan?"
Grita akhirnya menatapku dengan mata berkaca-kaca yang disembunyikan dari tadi. Aku terdiam mencerna perkataannya, aku baru ingat soal pertunangan itu. Kenapa Grita tiba-tiba bisa tau tentang masalah rumitku itu.
"Kamu tau darimana?"
Dari sekian banyak hal yang ingin kujelaskan tentang itu, yang keluar malah pertanyaan yang membuatku terlihat jahat di depannya.
Tentu saja Grita mengira bahwa semua yang ia pikirkan benar setelah mendengar pertanyaan bodohku. Ia memalingkan muka dan kini dengan air mata yang tak pernah ingin kulihat. Aku menariknya dalam pelukan untuk pertama kali.
"Aku gak mau ini berlanjut, aku bakal jelasin soal ini dan kamu harus tau seserius apa aku sama kamu. Aku bawa kamu ketemu mama besok"
Grita melepaskan dirinya,
"Kamu gak bisa ngelakuin apapun sesuka hati kamu. Aku tau kamu nganggap aku gampang, kamu bahkan gak akan cerita masalah ini kalau aku nggak tau apa-apa."
"Kamu salah, aku gak pernah punya anggapan seperti itu tentang kamu, aku cuma nggak tau harus jelasin darimana sekarang.." Otakku benar-benar tidak bekerja saat ini.
Aku memang tidak berniat membicarakan ini sebelumnya pada Grita karna memang semua sudah berakhir pikirku. Ia tidak perlu khawatir dengan masa laluku.
Ia tidak tau, aku sudah membicarakan pada mama sejak lima bulan lalu untuk memutuskan pertunanganku dengan Davina karna menurutku pertunangan ini tidak jelas. Kami sama-sama tidak punya perasaan satu sama lain, hanya menerima perjodohan dari keluarga namun juga tak ada paksaan sama sekali.
Dulunya aku masih berpikiran bahwa pasangan itu hanya sekedar formalitas. Jadi aku menerima siapapun yang mama berikan padaku karna hidupku semembosankan itu soal asmara, tak pernah menyukai siapapun sebelumnya.
Mama sudah menyampaikan pembatalan pertunangan itu pada keluarga Davina. Kata mereka Davina tidak terlalu mempermasalahkannya. Aku kira itu sudah berakhir disitu tapi tiba-tiba Davina muncul lagi sebulan yang lalu dan mengatakan bahwa ia mulai mempertimbangkan untuk benar-benar membangun hubungan serius denganku.
Aku belum menjawab ya ataupun tidak saat itu karna aku masih tidak terlalu peduli soal hubungan apapun -tidak setelah aku menyukai seseorang baru-baru ini. Aku tidak tau itu akan berimbas sekarang-
Aku bahkan sudah lupa total tentang perkataan Davina waktu itu, sampai saat beberapa hari lalu Davina yang baru kembali dari Kanada, tiba-tiba datang ke stadion untuk menyaksikan pembukaan turnamen.
Tentu saja aku menemuinya karena diluar pertunangan itu, hubunganku dengannya baik-baik saja. Hampir seharian itu aku menemaninya menonton acara hiburan dari backstage. Niatku agar ia tak bertemu dengan Grita dan mengacaukan usahaku mendekati perempuan itu. Taunya Grita malah mengetahui lebih dari yang kubayangkan.
Ponselku bergetar dari tadi, Anet menelfon. Aku tidak tau apa yang lebih penting dari perempuan di depanku saat ini tapi aku juga tidak boleh melibatkan masalahku ini dengan urusan lainnya.
"Al, loe dimana sih? Dekan sama rektor udah dateng, masa loe nggak ada di sini." Panik Anet di seberang sana.
"Gue kesana sekarang" Aku menutup telpon dan kembali menatap Grita. "Aku bakal temuin kamu lagi setelah ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hectic Lovey Crush
Romance... Enggak salah juga, rupanya hidupnya udah terencana banget. Mungkin bukan cuek, dia emang enggak mikirin hal itu lagi karena semuanya udah tertata rapi.. ... Sementara aku, prinsipku jika ada waktu kosong bukankah berbaring di kamar sambil scroll...