GRITA'S POV
Setelah semua acara penutupan kemarin, Aldein benar-benar mengajakku bertemu duduk di sebuah kafe. Aku yang masih dengan perasaan kecewa hanya mendengarkan semua ceritanya dari awal sampai akhir.
Ia menceritakan dengan sangat detil sehingga tak ada celah untukku merasa ia berbohong. Semua cerita tentang pertunangannya yang telah berakhir itu dapat diterima dengan baik di otakku.
Ia terus membujukku agar mau diajak ke rumahnya untuk dikenalkan pada mamanya. Aku menolak karna memang tidak siap. Tapi memang dasarnya Aldein pandai bicara, aku akhirnya menyetujui untuk datang bersama ke rumahnya dua hari lagi.
"Net, aku bingung. Aldein ngajak aku ketemu mamanya"
Anet menghela nafas, "Aku harusnya ngambek sama kamu sekarang. Kalian udah seserius itu tapi kamu nggak pernah cerita sama aku"
Hari ini aku menceritakan masalahku dari awal pada Anet. Untungnya ia tak terlalu marah karena baru sekarang mengatakan semuanya. Tadinya aku pikir ia tidak akan mau bicara selama dua hari padaku.
"Aku minta maaf, aku malu bilang suka temen kamu. Aku juga nggak ngira sampai kesini. Aldein aja yang bodoh bisa suka sama orang mageran kaya aku."
"Tapi dia nggak ada niat ketemu orang tua kamu dulu Grit?"
"Dia nanya sih, tapi mama papaku baru pulang dari Tokyo bulan depan. Jadi dia ngajak ke rumahnya dulu. Tapi aku masih nggak berani ketemu mamanya. Mamanya kan udah jodohin Aldein dengan anak temennya. Aku jadi segan masuk ke keluarganya."
"Kamu kenapa sih masih ada pikiran gitu? Padahal kan Aldein udah jelasin semuanya. Kamu ingat nggak aku pernah bilang Aldein itu cuma satu kurangnya?"
Aku diam. Iya, Anet pernah bilang. Dan waktu itu aku insecure bukan main dengan pertemanan mereka.
"..Ya itu kurangnya. Dia begok soal pasangan. Sok-sokan nerima siapa aja yang ditunjuk mamanya walaupun dia gak ada rasa. Jadinya kan kena batunya sekarang."
Oh, jadi ini maksud Anet tentang 'privacy' waktu itu. Aku tertawa geli.
***
Sejak dari rumah aku gugup setengah mati.
Di perjalanan aku terus meremas bajuku sambil melihat ke luar jendela.Aku memikirkan bagaimana pandangan mama Aldein terhadapku nantinya. Aku takut mamanya tidak menyukai kedatanganku, terlebih Aldein bilang ia belum menceritakan sama sekali tentangku pada ibunya. Artinya ia sendiripun tidak tau bagaimana ibunya akan bereaksi.
Sampai di depan rumahnya, satpam membuka gerbang dan mobil Aldein melaju ke halaman depannya yang begitu luas. Aku tinggal di keadaan yang tak jauh berbeda dengan Aldein, tapi begitu menginjakkan kaki di teras rumahnya aku seperti tak berani melangkah lebih jauh. Aldein yang menyadarinya langsung menggenggam tanganku berjalan beriring dengannya.
"Tenang.. mama pasti seneng sama kamu."
Begitu masuk, aku kagum dengan rumah besar bergaya klasik modern dengan nuansa Eropa ini. Mewah sekali. Tak berapa lama akhirnya kami sampai di sebuah ruang yang aku yakini ruang keluarga, memperlihatkan seorang wanita yang kuyakini mama Aldein.
Ia terlihat masih muda sekali dengan penampilan yang elegan. Seperti ada keterkejutan melihat kedatangan kami. Aldein memang menyebalkan. Harusnya ia memberitahu lebih dulu kedatanganku pada ibunya.
"Kamu nyulik anak gadis siapa, Al?" Tanyanya dengan ekspresi tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang.
Seseorang tiba-tiba muncul dari balik pintu -seperti kamar.
"Ka Gritaaa??!!!" Ia setengah berteriak karna kaget.
Akupun sama kagetnya ada orang asing yang menyebut namaku di tempat yang baru kudatangi. Ah, Aku rasa ini Ivana, adiknya Aldein.
"Ini.. temenku ma." Aldein ragu dengan sebutan apa yang cocok diberikan padaku sekarang.
Adiknya memdadak heboh,
"Nggak mungkin maa. Nggak akan mungkin ka Aldein yang biasanya bawa pulang tumpukan kertas tiba-tiba bilang bawa temennya ke rumah. Seumur-umur nggak pernah. Pacar kan?" Ivana tertawa usil.Aldein jadi salah tingkah memijat pangkal hidungnya.
"Adek mah, jangan berisik gitu. Nggak perlu dijelasin juga mama tau kok." Mereka tertawa.
Aku jadi mengerti kenapa waktu itu Aldein bilang pikiran adiknya lebih tua darinya. Adiknya memang pintar bicara hingga Aldein kewalahan membalas perkataannya.
Aku menghela nafas lega. Keluarga ini jauh dari kata angkuh. Harusnya aku tidak ragu pada keluarga yang mendidik Aldein dengan sangat baik. Aku jadi lumayan tenang melihat mereka yang welcome sekali padaku.
"Siapa namanya?" Tanya mamanya dengan lembut
"Grita, tante."
"Ituloh ma, ka Grita yang foto-foto liburannya sering aku kirim ke grup whatsapp keluarga. Keren-keren tempatnya, aku ngajak liburan mulu gapernah diiyain sih." Ivana semangat sekali dari tadi.
"Ooh jadi itu fotonya ka Grita adek ambil? Udah ijin belum foto orang kamu kirim-kirim sampai ke adik-adik sama ponakan mama di grup itu"
Aku shock mengetahui fotoku sudah sampai ke keluarga besar mereka. Aku kira hanya grup mereka bertiga.
"... Ijin kok.. iya kan kak?" Ivana malu dan memelankan suaranya
Aku tertawa miris, "Eh.. iya, ngga papa kok.." Aku bahkan lebih malu sekarang.
Mamanya meminta beberapa ART untuk segera memasak agar kami bisa makan siang disini. Ia mengomeli Aldein karena tidak mengatakan lebih dulu soal kedatanganku hingga ia tidak punya persiapan sama sekali. Aku merasa begitu dihargai disini.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hectic Lovey Crush
Romance... Enggak salah juga, rupanya hidupnya udah terencana banget. Mungkin bukan cuek, dia emang enggak mikirin hal itu lagi karena semuanya udah tertata rapi.. ... Sementara aku, prinsipku jika ada waktu kosong bukankah berbaring di kamar sambil scroll...