3. Chit-chat-shoot!

27 2 0
                                    


***

16.40

Aku melihat layar ponselku, sudah hampir dua jam aku menghabiskan waktu di perpustakaan kampus ini mencari beberapa referensi jurnal yang belum lengkap. Dua hari ini selesai jam kuliah aku langsung ke tempat paling jarang kudatangi di kampus ini. Aku menghabiskan waktuku dengan sangat produktif pikirku, dan itu sudah membuatku agak bangga.

Suara gantungan pintu perpustakaan berbunyi menandakan seseorang masuk. Sosok yang tidak asing lagi di mataku saking seringnya aku memperhatikannya belakangan ini. Aldein, ia begitu cocok mengenakan celana jeans hitam dan kaos putih dipadu luaran hitam, dilengkapi topi hitam senada dengan logo ceklis itu. Tapi, sesore ini ada keperluan apa dia disini. Ah, aku lupa dia orang tersibuk di fakultas kami. Dia bisa saja pulang malam demi mengurus segala urusan kampus. Aku sedikit bergidik ngeri membayangkan hidupnya yang hectic. Tapi sesibuk itu ia masih terlihat oh-so-cool untuk soal penampilan. Sudah dua hari aku tidak melihatnya di kampus dan di lapangan. Dia pasti tidak peduli aku ada atau tidak di dunia ini.

Aldein berbincang dengan pengurus pustaka, obrolannya pasti sangat seru melihat mereka tertawa beberapa kali. Aku akui public-speakingnya memang luar biasa saat menjalankan tugasnya sebagai orang penting di kampus. Dia selalu klop bicara dengan siapapun. Tapi di luar kepentingan kampus ia berbanding terbalik, dia dikenal cuek dan malas basa basi. Mungkin ia hanya mau diajak membahas hal-hal berat, seserius itu pikirku.

Dia melempar pandangan ke arahku. Aku kembali fokus pada halaman buku yang sedang kubaca, membiarkan ia dengan apapun urusannya di sebelah sana. Walaupun sudah pernah berhadap-hadapan, rasanya akan aneh untuk sekedar menyapa orang sedingin dia. Atau lebih parahnya mungkin dia tidak ingat denganku. Ah, apa yang kuharapkan dari orang sesibuk dia, pikirannya pasti sudah banyak terbagi dengan tugas-tugasnya di kampus, mana mungkin ia sempat mengingat orang yang hanya selintas lewat di pandangannya.

"Sorry, bisa bantu aku sebentar nggak?"

Aku terkesiap melihat Aldein sudah di depanku sambil memegang sebuah catatan saat aku sibuk dengan pikiranku barusan.

"Aku mau ngumpulin buku-buku di catatan ini, kamu bisa tulis judul sama serinya di bawah sini?" Ia menunjukkan list 56 buku yang harus diambil.

Aku masih mencerna situasi saat ini. Aldein meminta bantuanku? Kenapa aku? Aku melebarkan pandanganku ke seisi ruang pustaka ini. Memang sudah tidak ada lagi orang selain aku, seorang pengurus pustaka yang sibuk dengan komputer di depannya, dan dua orang adik tingkat yang sedang dimentori dosennya di ujung sana. Rupanya dia tidak punya pilihan lain. Sampai disini aku beranggapan dia hanya sedang butuh bantuan dan aku adalah orang yang paling memungkinkan disini, bukan karna ia mengenalku.

Aku mengambil catatan yang diberikan, dan mulai mengerjakan apa yang dikatakan sebelumnya. Ternyata ini buku-buku yang baru sampai kemarin dan pihak pengirim perlu rekapan buku tersebut secepatnya. Kami sama sekali tidak seperti orang yang pernah bertemu sebelumnya. Aldein bolak balik mengambil buku yang diletakkan di rak yang berbeda. Setelah terkumpul semuanya, ia akhirnya duduk di hadapanku sambil masih membolak-balikkan halamannya untuk mencari nomor seri buku. Sementara aku masih menyisakan tujuh buku yang belum selesai kutulis.

Hening.
...

"Dua hari ini kemana, Grit? Kok enggak ke lapangan?"

Seketika tubuhku melemas, Aldein tidak hanya tau diriku, dia ingat namaku dan sadar kalau aku tidak ada di lapangan dua hari kemarin. Ia bertanya dengan pandangannya yang tak lepas dari buku yang sedang dipegangnya. Tidak ada jawaban, ia kemudian menoleh padaku yang masih memproses pertanyaannya.

"Oh.. itu, e.. aku lagi ngerjain beberapa tugas." Aku susah payah memaksa otakku yang beku sejenak untuk kembali bekerja.

Dia mengangguk-angguk lalu kembali fokus pada bukunya. Aku bukan orang yang mudah ge-er, tapi fakta bahwa Aldein mengingatku membuat irama jantungku tak karuan saat ini. Aku tak menyangka ia bahkan menanyakan keberadaanku saat tak terlihat olehnya beberapa hari lalu. Aku tak bisa mengelakkan senyum yang sebisa mungkin kusembunyikan darinya dengan menunduk, dan cepat-cepat menyelesaikan buku terakhir yang sedang kutulis. Akhirnya selesai berbarengan dengan dua mahasiswi dan dosen yang juga akan keluar dari pustaka.

"Al, ayo pulang. Masih ingat rumahnya kan?" Dosen paruh baya itu menyapa dengan akrab seperti sudah sering bergurau.

Padahal ia termasuk list dosen killer yang jarang senyum dengan mahasiswa.

"Aman pak, kalau nggak ingat nanti saya ke rumah bapak dulu" Balasnya dengan santai diikuti tawa keduanya.

Aku hanya melongo menyaksikan interaksi mereka, ditambah dua orang mahasiswi -adik tingkat- dibelakang dosen tersebut yang melambai-lambai pada Aldein seperti baru melihat idol terkenal. Aku sih tidak heran dengan dua orang itu, reaksi seperti itu mungkin sudah jadi hal biasa bagi seorang Aldein. Bukan tanpa alasan, setiap latihan basket pasti ada saja sekelompok fans yang meneriaki namanya dari tribun penonton. Atau setiap aku melewati gerombolan mahasiswi baik di kantin atau di koridor, namanya selalu terdengar menjadi topik sehari-hari mereka. Terkadang akupun jadi ikut mendengar ketika tidak sengaja berpapasan dengan mereka. Aku hanya mendengar namanya sekian lama tanpa tahu mana orangnya dan tidak berniat mencari tau. Hingga akhirnya saat pertama kali aku datang ke lapangan setelah dipaksa Anet sore itu, aku melihat Anet berbicara menghampiri seseorang dengan senyum yang manis sekali dan rambut basah acak-acakan which look so hot. Jadi dia, Aldein yang digilai mahasiswi se-kampus ku.

"Pulang sekarang?" Suara Aldein melenyapkan sosoknya dalam lamunanku.
Aku melihat jam tangan yang menunjukkan jarumnya pada angka 6 dan 3.

"Eh iya, aku duluan ya." Aku melewatinya yang kemudian melirik jam tangannya.

"Kamu bawa mobil, Grit?" Tanyanya menghentikan langkahku.

Aku baru ingat aku sudah jarang membawa mobil ke kampus kalau tidak terlambat. Aku lebih senang naik bus kemana-mana karena lebih praktis. Dan hari ini sialnya aku juga tidak membawa mobil, sementara bus sudah berhenti sedari jam 17.00.

"Udah jam enam lewat, nggak ada lagi bus, yuk aku anterin kalau kamu nggak bawa mobil."

"Enggak, enggak. Jangan. Gapapa aku bisa minta jemput Anet kok."

Yang benar saja, malu-maluin banget kalau sampai diantar pulang. Kamu bukan siapa-siapa, Grita. Gak tau diri mau diantar orang sesibuk Aldein.

Dia malah tersenyum, manis sekali. "Anet jam segini pasti lagi ngobrol sama rumput di kebunnya. Mau ditelpon 10 kali pun gak akan ngeh"

Lucu sih, tapi aku agak badmood mendengar Aldein tau rutinitas Anet setiap sore yang memang selalu menyirami tanaman di kebunnya.

"Ayo, aku anterin. Lagian kamu telat juga karna ngebantuin aku kan." Aldein balik berjalan mendahuluiku menuju mobilnya.

"... tinggal dimana , Grit?"

Ah, sudahlah aku tak punya pilihan, akupun mengikutinya, daripada menunggu Anet menjawab telponnya sejam kemudian.

"Komplek Routen Hill, blok C, Nomor 13"

My Hectic Lovey CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang