Aku dibawa Ivana duduk di sebuah gazebo yang menghadap kolam renang besar di halaman belakang rumahnya.
Anak ini senang sekali bertanya soal tempat-tempat liburan yang pernah aku post di ig. Kami jadi akrab karena punya passion yang sama yaitu traveling dan eksis di sosmed. Kami akhirnya banyak bercerita dan tertawa disini.
"Kalo ka Aldein sih nggak akan nyambung ngebahas liburan kak, payah dia mah.. payah, temenan sama laporan kampus doang." Ucapnya dengan ekspresi jijik.
Senang sekali mengatai-ngatai kakaknya. Aku gemas melihatnya.
"Tapi beneran deh kak, ada kali beberapa minggu belakangan ini kaka nggak pernah bawa pulang tumpukan kertas itu lagi. Dia pulang ngobrol bareng sama kita di ruang keluarga atau nggak langsung tidur di kamarnya. Kayanya semenjak deket sama ka Grita deh, kata mama juga gitu, curiga lagi deket sama seseorang, hehe. Kaka nyuruh ka Aldein diem ya di rumah? Padahal dia nggak pernah dengerin kita" Selidik Ivana menyeringai
Rasanya aku tidak pernah memintanya begitu. Memang ada niatku mengingatkannya untuk tidak terlalu berlebihan mengurusi kerjaan kampusnya, tapi aku terlalu takut mencampuri urusannya.
Aku mengingat-ingat lagi. Akhirnya aku teringat satu sore di ruang sekret saat itu. Apa dia tidak jadi membawa pulang semua berkas pada hari itu?
"...kayanya eng..."
Pembicaraan kami terputus saat mamanya memanggil Ivana untuk membawa turun cemilan dari lantai dua. Iapun bergegas kesana.
Rumahnya nyaman sekali. Tipe rumah yang benar-benar jadi tempat istirahat setelah seharian sibuk di luar sana. Tapi Aldein baru merasakannya belakangan ini.
Aku tertawa mengingat kata-kata Ivana. Aku masih sulit percaya semua karena perkataanku yang menyuruhnya istirahat di rumah saat itu.
"Kamu ngetawain aib kamu yang mana?"
Aldein muncul entah darimana menangkap basah aku tertawa sendiri.
"Aku ngetawain kamu kok. Kenapa sukanya sama yang kaya aku?"
"Maksud kamu 'sama yang kaya aku' apa? Kamu bukan orang yang bakal ditolak seseorang sama sekali."
Aku tersipu mendengarnya,
"Aku serius, kamu punya banyak pilihan dengan orang-orang hebat di sekitar kamu. Kenapa maunya aku yang nggak peduli apa-apa soal kampus.""Karna kamu cantik" Jawabnya seadanya.
"Aku tau.." kataku sengaja besar kepala, "...Tapi aku nggak percaya kamu make alasan itu."
Seorang aldein yang dikelilingi perempuan cantik harusnya tidak tergoda dengan wajahku saja, meskipun aku memang sering mendapat pujian seperti itu dari followersku.
"Aku nggak bohong, memang awalnya aku suka karna kamu cantik. Eh jadi penasaran deh." Aldein tertawa, terkesan asal menjawab pertanyaanku.
Tapi akhirnya ia menyambung, "Pas agak kenal, aku heran kamu nggak kaya bayangan aku."
"Bayangan kamu gimana?" Aku mulai tertarik.
"Aku mikirnya kamu cewe cantik yang sombong. Yang nongkrong cuma sama cewek-cewek sosialita. Taunya kamu malah nggak punya temen" Aldein tersenyum melirikku.
"..Kamu emang seneng sendiri kemana-mana ya? Aku pikir kamu bakal susah berbaur sama anak-anak himmas, eh ternyata kamu udah banyak banget ngebantuin mereka. Penampilan kamu aja yang tinggi, tapi setiap kali ada yang omongin kamu, aku gak pernah denger ada kata sombong untuk kamu." Ia memberi jeda
"....Kalau lemot pernah sih sekali waktu kelas kuliah umum." Aldein menertawakanku dengan keras. Aku hampir melayang dengan kata-katanya kalau saja kalimat terakhirnya itu tak keluar.
Aku tidak marah mendengarnya. Memang kenyataannya aku agak bodoh di kelas,
"Bener sih, bahkan sampe sekarang aku insecure deket sama orang sehebat, sepintar, sesibuk kamu. Aku merasa nggak ada apa-apa yang bisa dibanggain."
Aldein merubah posisinya menghadapku. Ia nampak kurang suka dengan kata-kataku barusan,
"Denger ya, kalau aku nyarinya yang hebat, yang pintar, yang sibuk sama hal-hal kampus atau apapun itu, temen-temenku rata-rata begitu semua, Grit. Aku tinggal deketin mereka. Tapi aku udah terlalu capek sama diri sendiri dengan hidup yang begitu. Hari-hari aku udah rame, aku pengen punya tempat yang tenang dan itu kamu."
Kalau di rumah mungkin aku sudah berguling-guling mendengarnya. Aku tidak tau dia bisa semanis ini.
"Terus aku ini apa sebenarnya? Tempat yang tenang itu yang gimana maksudnya" Aku akhirnya menuntut status yang pasti darinya.
"Kamu masih nanya?" Ia tertawa heran
"Kan kamu tau aku lemot." Kataku sengaja. Padahal aku tau sudah ditempatkan ke bagian paling spesial di hidupnya.
"Aku nikahin kamu selesai kuliah dan dapet kerja yang bagus ya" Aldein berucap dengan enteng.
"Nggak gitu dong. Kamu emang selalu semau kamu ya." Satu kosong, aku menyerang dengan menyindir satu-satunya sifat buruk dalam dirinya.
"Ya soalnya kamu marahnya dieman, aku takut kamu ngilang karna salah paham lagi." Skakmat. Aldein malah menembak tepat sasaran.
Aku tiba-tiba ingat pada Anet, "Aku sempat nggak enak sama Anet karena nggak pernah cerita soal ini, jadi kemarin aku cerita semua"
Aku ingin melihat reaksi Aldein saat kuberitahu Anet sudah tau semuanya.
Ia tertawa, "Anet pro sih.. aku gak tau dia sebagus itu"
Aku menatapnya bingung mendengar kalimat ambigu yang ia keluarkan, "Kamu ngomongin apa?"
"Anet sebenarnya tau dari awal."
"Maksudnya?"Aku masih kesulitan mengartikan kata-katanya.
"Yaa.. kamu nggak tau aja dia maksa kamu selalu nemenin dia latihan tenis ya karena aku minta" Ia senyam-senyum sendiri
"Aku udah duluan penasaran sama kamu. Selebgram yang paling jarang keliatan di kampus. Eh ternyata temennya Anet. Gas lah.." Ia tertawa, "Tapi soal turnamen yang aku pindahin ke stadion karena kamu Anet gatau sih. Kesel banget dia sampe sering telat pulang ngurusin itu."
Aku merutuki diri sendiri saat tau semuanya. Aku disadarkan oleh kenyataan lagi betapa bodohnya aku yang tidak curiga sama sekali mereka bersekongkol dari awal. Anet dalang semua ini. Ia tau hampir semua alur drama ini. Pulang dari sini sepertinya aku harus buat perhitungan dengannya.
"Aku beneran kecewa waktu itu. Lancar sih acaranya, tapi nggak seperti yang aku harap. Nggak ada sebentar pun aku nonton pertandingan ditemenin orang yang jadi alasan aku urus ijin stadion itu. Bahkan sedihnya lagi hari pertandingan aku ditinggal ngambek."
Lanjut Aldein menceritakan hari itu seolah sedang bicara sendiri.
"Tapi tim kamu tetep menang kan. Aku pikir bakal ngaruh aku ada disana apa enggak."
"Ya aku marah makanya mainnya makin serius sampe tim kampus sebelah kesel ngeliat muka aku terus yang ngerebut bola." Kami tertawa.
Aldein hanya tidak tau aku sebenarnya ada di hari prtandingan itu. Aku sengaja memakai topi dan kacamata hitam duduk di bangku penonton paling atas memotret mereka dan menyaksikan ia menambah poin untuk timnya hingga memenangkan pertandingan.
End.
▪︎
▪︎
▪︎*Epilog*
"Dein, bangku paling atas nomor tiga dari kanan." Bisik teman se-teamku di tengah pertandingan.
Aku langsung menoleh ke arah yang disebutkan tanpa tahu konteksnya. Aku memperhatikan samar-samar dari jauh seseorang yang sedang memotret ke arah lapangan.
Mataku membesar ketika mengetahui Grita ternyata hadir walaupun tidak ada komunikasi sama sekali antara kami. Aku tersenyum sekilas. Tidak ada alasan lain, Grita yang membuatku semangat hari itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hectic Lovey Crush
Storie d'amore... Enggak salah juga, rupanya hidupnya udah terencana banget. Mungkin bukan cuek, dia emang enggak mikirin hal itu lagi karena semuanya udah tertata rapi.. ... Sementara aku, prinsipku jika ada waktu kosong bukankah berbaring di kamar sambil scroll...