(39) Sayang

63K 7.4K 4.5K
                                    

سْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Apa kabar?

Kangen SamHin?

Komen setiap paragraf yaa. BOLEH BANGET, TERLOPE YANG KOMEN SETIAP PARAGRAF.

Target kali ini 3,5K Vote dan 4K Komentar ya. InsyaAllah bisa.

🌊🌊🌊
-SamHin.

Haider dan Devia berdiri sedikit jauh dari Samudra dan Hindia yang tengah berdiri sejajar, menatap ke arah laut lepas. Mereka tidak ingin mendekat karena Hindia menangis segugukan.

Rindu Ailard.

Sebagai sama-sama jomblo, mereka tidak ingin menganggu kebersamaan dua insan yang tengah akur tersebut.

Angin laut berlarian ke arah timur. Deburan air juga terdengar. Beberapa ekosistem hidup di dalam sana.

"Hindia udah jadi humaira nya Samudra." Celetuk Devia dengan senyuman.

Menatap lekat ke arah sang sahabat yang tengah menyandarkan kepalanya pada pundak suaminya.

Romantis sekali.

Kalau yang membaca ini jomblo ngenes.

Devia. Gadis dengan rambut di ikat rapi karena tadi habis terlibat pertengkaran hebat dengan Juliette. Devia mengancam Juliette. Untung saja Juliette tidak berani melawan dan bungkam.

Juliette berjanji kalau dia tidak akan menyebarkan fitnah lagi. Semoga saja ya. Semoga bisa berpegang teguh pada janjinya.

"Kalau kamu engga cocok di sebut 'humaira', Dev." Haider menambahi.

Devia menoleh ke arah pria yang tingginya lebih dari dirinya. Sepertinya Devia hanya sebatas dada bidang milik Haider.

Yeah ... Devia pendek. Namun Hindia lebih pendek beberapa inci saja. Haider dan Samudra terlalu tinggi. Namun tidak apa-apa. Tampan kok.

Devia menunggu kelanjutkan kalimat Haider. Namun pria dengan rahang tegas itu malah memejamkan kedua netra. Geming.

"Terus apaan?" menaikan sebelah alis matanya. Haider menikmati embusan angin laut yang menyapa wajahnya.

Memeluk kedua insan yang tengah saling menguatkan satu sama lain. Sinar mentari juga menyiram wajahnya. Namun cuaca lagi mendukung. Berawan dan cerah.

"Haider! Apa yang cocok dong?" sepertinya Devia tidak terima karena Haider termenung.

Lalu pria itu menoleh. Menatap dalam netra Devia. Mereka saling melempar tatapan yang tidak bisa dibaca namun benar-benar dalam.

Tatapan berbeda.

Burung camar beterbangan di atas keduanya. Sinar mentari yang awalnya malu-malu mendadak menyinari keduanya blak-blakan. Seperti dalam drama-drama.

Mengerjabkan mata sambil menelan saliva. Jakun milik Haider bergerak turun dan naik. Sepertinya pria itu mempersiapkan kalimat berikutnya.

"Kenapa diam? Cocoknya disebut apa?"

Haider berdehem. Masih dengan tatapan yang sama. Sementara tatapan Devia terhadap nya penuh harap.

Apa? Sebutan yang cocok untuk ku? My senorita? Atau nona muda yang cantik, atau princess Devia, atau mungkin Devia duchess of Cambridge. Atau ... Ah pasti sebutan yang cantik. Pipi Devia merona karena tatapan Haider.

"Almarhumah."

MasyaAllah, sangat cantik. Harus tetap anggunly, dan tidak boleh barbarly. Tetap slaayy. Devia dengan senyuman pasrah.

Samudra Hindia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang